
Badan Pemulihan Aset (BPA) Kejaksaan Agung melakukan verifikasi terhadap aset sitaan yang berada di kawasan PT Orbit Terminal Merak (OTM). Aset tersebut disita karena diduga terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun.
Kegiatan verifikasi itu berlangsung pada di Kelurahan Lebak Gede, Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon, Senin (7/7) kemarin. Adapun perusahaan itu merupakan milik anak pengusaha minyak Riza Chalid, Muhammad Kerry Andrianto Riza.
"Badan Pemulihan Aset memiliki mandat penting dalam tata kelola benda sitaan dan barang bukti, untuk memastikan nilai guna dan nilai ekonomisnya tetap terjaga, serta mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berwenang," ujar Plt Kepala Pusat Manajemen, Penelusuran, dan Perampasan Aset, Emilwan Ridwan, dalam keterangannya, dikutip Selasa (8/7).

Adapun objek yang dilakukan verifikasi yakni:
1) Satu bidang tanah dan bangunan seluas 31.921 m2 beserta bangunan yang ada di atasnya dengan SHGB Nomor 119 yang berlokasi di Kelurahan Lebak Gede, Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon, Banten atas nama PT Orbit Terminal Merak;
2) Satu bidang tanah dan bangunan seluas 190.684 m2 beserta bangunan atau benda-benda yang memiliki nilai ekonomis yang ada di atasnya beserta dengan SHGB Nomor 32 yang berlokasi di Kelurahan Lebak Gede, Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon, Banten atas nama PT Orbit Terminal Merak. Bangunan di atasnya termasuk:
5 tangki dengan kapasitas 22.400 kiloliter;
3 tangki dengan kapasitas 20.200 kiloliter;
4 tangki dengan kapasitas 12.600 kiloliter;
7 tangki berkapasitas 7.400 kiloliter;
2 tangki berkapasitas 7.000 kiloliter;
Jetty 1 dengan Max Displacement 133.000 metrik ton;
Jetty 2 dengan Max Displacement 20.000 metrik ton; dan
1 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Nomor 34.42414.

Emilwan menyebut, kegiatan verifikasi dilakukan sebagai langkah pengelolaan, pengamanan, dan pemeliharaan aset. Selain itu, verifikasi juga bagian dari proses penitipan pengelolaan aset kepada pihak PT Pertamina Patra Niaga.
Emilwan menyatakan, meski sejumlah aset PT OTM disita, perusahaan itu masih akan tetap beroperasi. Sebab memiliki peran strategis dalam distribusi minyak di wilayah Jawa, sebagian Sumatera, dan Kalimantan Barat.
"Perlu kami tekankan bahwa proses hukum yang berjalan tidak serta-merta menghentikan aktivitas operasional perusahaan," ucap Emilwan.
"Dengan adanya pengelolaan resmi oleh pihak yang ditunjuk, kegiatan usaha tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya, dan hak-hak karyawan tetap dijamin hingga diperolehnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah)," imbuh dia.
Kegiatan verifikasi itu turut dihadiri oleh Chief Legal Counsel PT Pertamina (Persero), Direktur Rekayasa Infrastruktur Darat PT Pertamina Patra Niaga, perwakilan manajemen dan kuasa hukum PT OTM, Penuntut Umum dari Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), serta pejabat dari Kejaksaan Tinggi Banten dan Kejaksaan Negeri Cilegon.
Selain itu, turut dilibatkan tim penilai internal dari BPA untuk melakukan taksiran terhadap nilai aset sebagai dasar penyusunan strategi pengelolaan yang akuntabel dan efisien.
Sebelumnya, Kejagung juga telah sempat menggeledah PT OTM pada Kamis (27/2) lalu. Dalam penggeledahan itu, penyidik menyita sebanyak 95 bundel dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) berupa dua unit handphone.
Selain itu, rangkaian penggeledahan lain juga dilakukan penyidik di dua rumah milik Riza Chalid yang berlokasi di Jalan Jenggala II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan, pada Kamis (27/2) lalu.
Kemudian, penggeledahan juga sempat dilakukan di terminal bahan bakar minyak (TBBM) Tanjung Gerem di Cilegon, Banten, pada Jumat (28/2) lalu.
Belum ada keterangan dari pihak Kerry mengenai penyitaan maupun terkait perkara yang menjeratnya tersebut.
Kasus Korupsi Minyak Mentah
Dalam korupsi tata kelola minyak mentah yang tengah ditangani Kejagung ini, enam orang petinggi subholding Pertamina berinisial RS, SDS, YF, AP, MK, dan EC dijerat sebagai tersangka.
Selain mereka, tiga tersangka lainnya yakni; Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Kasus ini bermula pada 2018-2023. Untuk pemenuhan minyak mentah dalam negeri harus wajib mengutamakan pasokan dalam negeri. Pertamina harus mencari dari kontraktor dalam negeri sebelum impor.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
Namun, Kejagung menemukan adanya pengkondisian untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi kilang dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. Sehingga pada akhirnya harus impor.
Kemudian, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri juga oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masuk HPS.
Selain itu, penolakan juga dinilai karena produksi KKKS tidak sesuai kualitas, padahal faktanya dapat diolah. Dengan penolakan itu, maka minyak mentah dari KKKS tak terserap. Kemudian malah diekspor ke luar negeri. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah, impor pun dilakukan.
Dalam proses impor ini diduga terjadi pemufakatan jahat, yakni terdapat kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan dapat keuntungan dengan melawan hukum. Hal ini disamarkan seolah-olah sesuai ketentuan. Pemenang broker pun telah diatur.
Ditambah lagi, dalam proses pengadaan produk kilang, PT PPN melakukan pembelian RON 92, padahal sebenarnya yang dibeli yakni RON 90. Kemudian itu di-blending untuk jadi RON 92.
Pada saat dilakukan impor minyak mentah, ada proses mark up kontrak pengiriman. Sehingga pihak BUMN mengeluarkan fee 13-15 persen dan menguntungkan Muhammad Kerry Andrianto Riza.
Atas perbuatan para tersangka ini, menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN.
Dari hasil penghitungan sementara, kerugian negara yang ditimbulkan perkara korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun. Jumlahnya diprediksi lebih tinggi, karena angka kerugian sementara itu hanya pada 2023 saja.
Adapun perkara ini telah dilakukan pelimpahan tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Setelah pelimpahan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tengah menyusun surat dakwaan agar para tersangka bisa segera disidangkan.