Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Mashudi, angkat bicara terkait kritik pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi.
Kritik publik muncul setelah terpidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto, turut mendapatkan remisi hingga resmi mendapatkan pembebasan bersyarat dan keluar dari Lapas Sukamiskin pada Sabtu (16/8) kemarin.
Mashudi menyebut, remisi diberikan kepada seluruh warga binaan tanpa pengecualian, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
"Jadi, di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022, Pasal 10 ayat 1, 2, 3, bahwa remisi itu diberikan kepada semua warga binaan atau narapidana tanpa pengecualian," ujar Mashudi kepada wartawan, di Kantor LPSK, Jakarta, Kamis (21/8).
"Baik itu pidana yang kasus korupsi, kasus teroris, itu kita berikan. Yang tidak kita berikan adalah yang hukuman mati dan seumur hidup," jelas dia.
Ia menjelaskan, pemberian remisi tidak serta merta menjadi keputusan sepihak dari Ditjen Pemasyarakatan. Melainkan, melalui proses berjenjang dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) hingga Kanwil.
Penilaian terhadap warga binaan itu, lanjut dia, dilakukan berdasarkan pembinaan, perilaku, dan sikap sehari-hari, yang kemudian diputus melalui mekanisme sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan.
"Prosesnya ini kan bukan dari kita, tapi dari KA UPT hasil daripada yang setiap hari melakukan pembinaan di sana, dia melihat di situ," tutur dia.
"[Kemudian] UPT ke Kakanwil, dia melalui sidang TPP, baru ke tempat kami ke Ditjen PAS. Jadi melalui proses itulah yang kita lakukan," imbuhnya.
Saat disinggung terkait pengetatan syarat remisi bagi koruptor, Mashudi menyebut pihaknya hanya menjalankan sesuai ketentuan perundang-undangan.
"Itu diatur dalam undang-undangnya. Kalau kita mau mengubah, ya kita [ubah] undang-undangnya. Kalau kita enggak melakukan, kita salah," pungkas dia.
Adapun Setya Novanto atau Setnov merupakan terpidana kasus korupsi e-KTP dan telah ditahan sejak 2017 lalu dengan vonis 12,5 tahun penjara.
Dalam kasusnya, Setnov awalnya divonis 15 tahun penjara pada April 2018 lalu terkait kasus korupsi e-KTP. Hukuman itu kemudian dipangkas Mahkamah Agung (MA) menjadi 12,5 tahun penjara pada Juni 2025.
Selain memangkas vonis penjara, MA juga memangkas hukuman 5 tahun tak boleh duduki jabatan publik menjadi 2,5 tahun.
Namun, MA tidak memangkas denda dan uang pengganti. Kini, Setnov disebut sudah melunasi semuanya, sehingga dapat pembebasan bersyarat.
Di sisi lain, Setnov juga telah mendapatkan remisi 28 bulan dan 15 hari. Ia bebas bersyarat dengan pertimbangan berkelakuan baik dan telah menjalani 2/3 masa tahanan.