
SEORANG hakim federal AS pada Selasa (2/9) menolak tuntutan pemerintah agar Google menjual peramban Chrome dalam kasus antimonopoli besar. Namun tetap menjatuhkan serangkaian aturan ketat untuk memulihkan persaingan di bisnis pencarian online.
Putusan ini menyusul temuan Hakim Amit Mehta pada Agustus 2024 yang menyatakan Google secara ilegal mempertahankan monopoli mesin pencari. Monopoli itu melalui perjanjian distribusi eksklusif bernilai miliaran dolar dengan Apple, Samsung, dan produsen perangkat lain.
Meski tidak sekeras yang diharapkan sebagian pengamat, keputusan ini disebut sebagai salah satu pukulan hukum terbesar terhadap praktik monopoli korporasi dalam dua dekade terakhir. “Google tidak akan dipecah, dan model bisnisnya kemungkinan tidak banyak berubah,” kata profesor hukum Carl Tobias dari University of Richmond.
Pemerintah sebelumnya mendorong penjualan Chrome karena dianggap sebagai gerbang utama aktivitas internet yang menyumbang sepertiga pencarian Google. Namun hakim menilai usulan itu “terlalu berisiko dan berantakan.” Ia juga menolak melarang pembayaran Google kepada Apple untuk menjadikan Google sebagai mesin pencari default di iPhone, dengan alasan larangan itu bisa berdampak “melemahkan” pada mitra distribusi dan konsumen.
Pembukaan Akses Data
Sebagai gantinya, Mehta memerintahkan Google membuka akses data indeks pencarian dan interaksi pengguna kepada pesaing yang memenuhi syarat, serta menyediakan layanan hasil pencarian bagi rival hingga lima tahun. Aturan baru juga melarang Google menggunakan perjanjian eksklusif untuk mendominasi teknologi kecerdasan buatan generatif (GenAI) sebagaimana terjadi pada bisnis pencarian tradisional.
Putusan ini langsung disambut pasar: saham induk Google, Alphabet, melonjak 7,5% dalam perdagangan setelah jam bursa, sementara saham Apple naik lebih dari 3%.
Kasus ini menjadi bagian dari ofensif antimonopoli besar pemerintah AS terhadap raksasa teknologi. Google masih menghadapi gugatan lain terkait iklan digital, sementara Apple, Amazon, dan Meta juga tengah dibidik dalam proses hukum serupa. (AFP/Z-2)