GURU Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, mengkritik penetapan Inosentius Samsul sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Ia menilai proses yang ditempuh DPR cacat prosedur karena tidak memenuhi ketentuan seleksi yang objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Saya melihat ini bukan seleksi, tapi penetapan. Tidak ada objektivitas, tidak ada akuntabilitas, transparansi, dan keterbukaan. Bagaimana disebut seleksi kalau hanya ada satu calon?” kata Susi saat dihubungi pada Ahad, 24 Agustus 2025.
DPR resmi menetapkan Inosentius sebagai pengganti Arief Hidayat yang segera pensiun. Keputusan itu disahkan dalam Sidang Paripurna ke-3 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025–2026, Kamis, 21 Agustus 2025. Dalam laporan Komisi III, Ketua Habiburokhman menyebut Inosentius lolos uji kelayakan dan kepatutan pada 20 Agustus.
Menurut Susi, proses itu tidak bisa disebut seleksi karena hanya ada satu nama yang diajukan DPR. Tidak adanya pengumuman terbuka, kata dia, menutup kesempatan publik untuk ikut serta menjadi calon hakim MK. “Ini persoalan serius. Akses warga negara untuk menduduki jabatan negara adalah bagian dari hak asasi. Kalau aksesnya ditutup, berarti hak itu dilanggar oleh DPR,” ujar dia.
Susi juga menyoroti rekam jejak Inosentius yang lebih dari dua dekade berkarya di DPR, mulai dari Ketua Badan Perancangan Perundang-undangan hingga Kepala Badan Keahlian DPR. Keterlibatan panjang itu, kata dia, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan ketika Inosentius kelak menguji undang-undang di MK.
“Pertanyaan saya, ketika Pak Inosentius terpilih menjadi hakim konstitusi, kemudian terdapat pengujian undang-undang yang ia ikut bentuk di DPR, apakah beliau tidak conflict of interest?” kata Susi.
Lebih jauh, Susi menilai visi yang disampaikan Inosentius dalam fit and proper test, yakni menjadikan MK merdeka, transparan, dan akuntabel, bertolak belakang dengan proses penetapannya. “Bagaimana mungkin beliau membuat visi MK yang merdeka dan akuntabel, sementara ia sendiri terpilih melalui proses yang tidak transparan dan tidak akuntabel?” ujar Susi.
Ia menyebut proses ini bisa menghambat upaya MK memperbaiki kepercayaan publik yang sempat merosot, terutama setelah putusan kontroversial terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden. “Di tengah harapan masyarakat bahwa MK akan berbenah, proses penunjukan ini justru melemahkan harapan itu,” kata dia.
Susi menilai DPR melanggar ketentuan yang dibuatnya sendiri. Ia menyebut tindakan DPR ini sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan. “DPR yang membuat undang-undang, DPR juga yang melanggarnya. Lawmakers jadi lawbreakers,” ucap dia.
Menurut Susi, pola penunjukan ini mengulang kasus serupa ketika DPR menarik Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah pada 2022. Saat itu pun, kata dia, proses penunjukan hakim konstitusi lebih mirip penetapan ketimbang seleksi terbuka.
“DPR seakan menganggap hakim usulan mereka adalah perpanjangan tangan di Mahkamah Konstitusi. Padahal, hakim konstitusi harus independen, bukan representasi lembaga pengusul,” ujar Susi.