Kalimat tersebut sering kali terdengar jika menyangkut generasi Z di dunia kerja. Dianggap manja, kurang tahan banting, atau tidak loyal. Apakah itu benar adanya? Atau justru tempat kerjanya yang bermasalah?
Gen Z kini menjadi kelompok karyawan dengan pertumbuhan tercepat di dunia kerja. Namun, banyak di antara mereka yang kesulitan beradaptasi dengan budaya kerja dan tuntutan profesional, sehingga memicu keinginan untuk resign.
Survei menunjukkan bahwa hampir 50% Gen Z di seluruh dunia mengalami tekanan kerja yang tinggi. Laporan Deloitte mencatat 46% Gen Z merasa stres karena tuntutan profesional. Di Indonesia, studi di Bandung mengungkap lebih dari 75% Gen Z berniat resign karena beban kerja berlebih, gaji rendah, dan budaya kerja yang tidak mendukung.
Perubahan ini berdampak langsung pada strategi rekrutmen, retensi karyawan, budaya perusahaan, hingga kebijakan perusahaan. Hal ini menjadi perhatian bagi perusahaan untuk lebih menciptakan lingkungan kerja yang lebih adaptif terhadap karakteristik Gen Z.
Perbincangan ini semakin ramai karena didorong oleh media sosial, di mana Gen Z banyak membagikan pengalaman kerja, burnout, hingga alasan mereka keluar dari perusahaan. Isu ini menjadi topik utama baik bagi pekerja maupun perusahaan, terutama di tengah perubahan dinamika kerja pascapandemi.
Kenapa Gen Z Cepat Resign?
Resign cepat di kalangan Gen Z bukanlah sekadar fenomena biasa. Ketidakstabilan ekonomi, krisis iklim, kenaikan biaya hidup, hingga dampak pandemi menjadi latar belakang tumbuhnya Gen Z. Kondisi ini membuat mereka terbiasa mencari pekerjaan yang mendukung dengan keinginan mereka.
Dari kacamata perusahaan, Gen Z dinilai tidak bisa berkomitmen. Namun tidak hanya itu, melainkan terdapat beberapa alasan, seperti:
Banyak karyawan Gen Z memiliki ambisi yang tinggi untuk segera mendapatkan promosi. Namun kurangnya adaptasi terhadap budaya kerja sering menjadi hambatan.
Tantangan utama yang sering kali ditemui di tempat kerja adalah perbedaan komunikasi antara Gen Z dan generasi sebelumnya (Gen X). Hal ini bisa memicu kesalahpahaman hingga ketegangan.
Generasi Z kerap dinilai kurang sabar dalam menghadapi proses yang panjang, mereka lebih suka hasil cepat. Jika mereka merasa bosan dan tidak berkembang, mereka akan memilih resign.
Namun bagi Gen Z ada beberapa faktor yang mendorong mereka untuk resign, antara lain:
Gen Z adalah generasi yang sangat sensitif. Lingkungan kerja yang penuh tekanan, minim dukungan, dan toxic culture bisa langsung jadi alasan untuk resign.
Jam kerja yang panjang, lembur terus-menerus, adanya komunikasi kerja di luar jam kantor, membuat Gen Z merasa burnout. Hal inilah yang membuat mereka cenderung resign ke tempat yang lebih menghargai kehidupan pribadi.
Kompensasi tidak seimbang dengan beban kerja dan biaya hidup, jadi salah satu alasan mereka mencari kerja yang lebih layak.