REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: apt. Putri Rachma Novitasari, M.Pharm.Sci. (Dosen Fakultas Farmasi UAD, bidang Teknologi Farmasi)
Industri farmasi dunia saat ini menghadapi tantangan besar. Pada April 2025, Reuters melaporkan pemotongan anggaran di National Institutes of Health (NIH) dan pemutusan hubungan kerja massal di Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat. Kondisi ini memperlambat proses persetujuan obat baru dan mengakibatkan penundaan peluncuran terapi yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Di Eropa, The Guardian menyebutkan bahwa perusahaan farmasi tengah mempertimbangkan untuk memindahkan pusat riset mereka ke luar kawasan akibat tekanan tarif impor dari Amerika Serikat. Ini mengancam kelangsungan riset dan distribusi obat di tingkat global.
Namun, di tengah krisis ini, teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) muncul sebagai harapan baru. World Economic Forum pada Januari 2025 melaporkan bahwa AI kini mampu menganalisis miliaran data biologis dan memprediksi efektivitas molekul obat hanya dalam hitungan hari. Sekitar 30 persen penemuan obat pada tahun ini sudah melibatkan AI—sebuah lompatan besar dibanding dekade lalu.
Sayangnya, penerapan teknologi ini tidak semudah membalik telapak tangan. AI memerlukan infrastruktur digital yang kuat, data medis yang lengkap, dan regulasi yang ketat untuk menjamin keamanan dan akuntabilitas. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih tertinggal dalam hal ini.
Potensi industri farmasi nasional sebenarnya sangat besar. Menurut ASEAN Briefing, pasar farmasi Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 11 miliar dolar ASS pada 2025. Namun, lebih dari 90 persen bahan baku obat masih bergantung pada impor. Ketergantungan ini membuat kita sangat rentan terhadap guncangan global.
Pemerintah telah berupaya mendorong produksi bahan baku lokal dan menarik investasi asing. Tapi langkah ini perlu diiringi oleh ekosistem riset yang kuat dan kolaborasi nyata antara perguruan tinggi—khususnya fakultas farmasi—dengan industri. Tanpa itu, inovasi akan tetap mandek di atas kertas.
Kita juga membutuhkan regulasi yang mendukung riset jangka panjang, serta insentif bagi pelaku industri dan ilmuwan untuk berkolaborasi. Pengembangan obat bukan hanya soal bisnis, tetapi juga soal kemanusiaan. Kegagalan menemukan obat baru berarti keterlambatan harapan hidup bagi jutaan pasien.
Indonesia tidak boleh terus-menerus hanya menjadi pasar bagi produk asing. Kita harus mulai berani menjadi pemain utama dalam pengembangan obat, bukan hanya pembeli. Untuk itu, dibutuhkan komitmen nasional yang serius—dari kebijakan pemerintah, investasi riset, hingga pendidikan tinggi yang berorientasi pada inovasi.
Masyarakat Indonesia berhak atas akses obat yang lebih cepat, terjangkau, dan tepat sasaran. Harapan itu hanya akan terwujud bila negara hadir sebagai penggerak utama dalam membangun industri farmasi yang mandiri dan berdaya saing tinggi.