Lampung Geh, Bandar Lampung – Founder Startup Gogo Course, Candra Cahyani Gani, mengajukan usulan resmi kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk meninjau kembali dua aturan dalam seleksi beasiswa.
Dua poin yang disorot adalah penghapusan syarat sertifikat IELTS bagi lulusan perguruan tinggi luar negeri yang lulus dalam lima tahun terakhir dan penghapusan daftar perguruan tinggi tujuan studi untuk kandidat mahasiswa program doktor (S3).
Dalam pernyataan tertulis yang disampaikan melalui media sosial, Candra menegaskan, kebijakan terkait sertifikat IELTS perlu dikaji ulang karena dianggap tidak relevan bagi lulusan luar negeri yang sebelumnya telah mengikuti pendidikan di negara berbahasa Inggris.
“Lulusan LN, khususnya yang belajar di English Speaking Country, sudah terbukti pernah belajar di LN dan survive. Mereka bahkan sudah terbiasa mengikuti aktivitas diskusi akademik dan memiliki tugas writing yang lebih complicated dibanding soal IELTS,” kata Candra Gani dalam unggahannya Instagramnya.
Ia menyebut, kebijakan tersebut berdampak pada efisiensi waktu dan biaya. Tes IELTS saat ini memerlukan biaya sekitar Rp3,3 juta, yang menurutnya bisa dialihkan untuk kebutuhan persiapan studi lainnya.
“Saya faham LPDP punya kekhawatiran bahwa kemampuan bahasa bisa menurun. Oleh karena itu, dalam proposal ini saya memberikan pembatasan khusus, yakni bagi lulusan di bawah lima tahun,” ujarnya.
Candra juga menyampaikan alasan ideologis terkait penghapusan syarat IELTS, dengan menyinggung isu kolonialisasi bahasa dalam pendidikan tinggi.
“Tes IELTS memang diperlukan untuk membuktikan kemampuan berbahasa bagi yang sebelumnya belum memiliki bukti empiris. Namun, ketika sudah memiliki bukti dan tetap harus melakukan tes ulang, ini seperti suatu bentuk kolonialisasi,” tulisnya.
“Beberapa kampus di luar negeri ada yang mensyaratkan tes ulang dan ada yang tidak karena sudah melek akan isu kolonialisasi bahasa dalam dunia pendidikan,” tambahnya.
Selain itu, ia juga mengusulkan penghapusan daftar tetap perguruan tinggi tujuan studi S3 dalam skema beasiswa LPDP.
Ia menyebut, pendekatan studi doktoral bersifat berbasis pembimbing atau promotor, yang tidak selalu berada di universitas-universitas dalam daftar LPDP.
“Studi S3 ini seperti suatu proses pengkaderan ilmuwan baru lewat metode global, yakni: belajar mencari gap ilmu pengetahuan, melakukan riset, dan mengembangkan ilmu baru dengan didampingi promotor yang ahli di bidangnya,” jelasnya.
Candra menyoroti, sejumlah promotor di bidang ilmu tertentu, seperti poskolonialisme, tidak terafiliasi dengan universitas yang tercantum dalam daftar kampus LPDP.
Ia menyebut, beberapa ilmuwan senior memilih bermukim di institusi kecil yang tidak mengejar peringkat global seperti QS World Ranking.
“Akan sangat disayangkan jika ada kandidat yang tidak jadi belajar dari ilmuwan hebat ini hanya karena kampusnya tidak ada di dalam daftar kampus LPDP,” ujar dia.
Usulan ini, menurut Candra, juga berasal dari pengalaman pribadinya dan para rekan yang menghadapi kendala serupa dalam proses seleksi beasiswa.