Evakuasi WNI tahap pertama dari Iran berlangsung dramatis. Mereka menempuh perjalanan panjang selama 6 hari untuk tiba di Indonesia. Tak bisa langsung terbang dari Teheran ke Jakarta.
***
Purkon Hidayat, dosen yang telah 24 tahun tinggal di Iran, ikut dalam rombongan gelombang pertama warga negara Indonesia yang dievakuasi dari Teheran. Total ada 97 WNI yang tergabung dalam rombongan ini.
Mereka meninggalkan Teheran pada Jumat, 20 Juni 2025. Faktor keamanan menjadi alasan Purkon membawa istri dan anaknya pulang ke Indonesia. Namun, perjalanan pulang ternyata berlangsung menegangkan dan menghabiskan waktu berhari-hari.
Kepada kumparan, Purkon menceritakan pengalaman langka itu. Jumat (20/6), ia dan rombongannya berangkat dari KBRI Teheran pagi-pagi sekitar pukul 7. Mereka dikelompokkan dalam empat bus yang beriringan menuju bagian utara Iran untuk menyeberang ke Azerbaijan.
Purkon dkk harus menempuh perjalanan darat ke perbatasan karena layanan penerbangan dari Iran tak tersedia. Pintu masuk Iran melalui udara ditutup imbas perang Iran-Israel yang saling melontarkan roket.

Setelah sekitar 18 jam perjalanan, rombongan WNI dari Teheran itu tiba di tepi Azerbaijan melalui pintu perbatasan Astara.
“Jadi dari Teheran jam 7 pagi, sampai border jam 8 malam, magrib,” cerita Purkon.
Di perbatasan, mereka mengantre puluhan jam untuk diperiksa sebelum akhirnya masuk ke Azerbaijan.
Pelintasan perbatasan itu sesak dengan orang-orang yang juga ingin keluar dari Iran. Mereka semua hendak mengungsi.
Ketika itulah Purkon melihat orang-orang China ikut berdesakan. Pemandangan itu membuat Purkon makin sadar bahwa situasi di Iran tak baik-baik saja. Menurut rekan-rekannya, bila yang keluar dari Iran adalah orang Eropa atau warga negara lain, itu biasa saja dan terjadi setiap waktu.
“Tapi kalau sudah orang China keluar, itu artinya kondisi sangat darurat. Kira-kira begitulah kata kawan saya,” ujar Purkon.
China dikenal sebagai sahabat Iran. Beberapa proyek strategis di Iran, misalnya, bersumber dari pendanaan atau hasil kerja sama dengan China. Itu sebabnya banyak warga China bekerja di Iran.

Rombongan Purkon akhirnya berhasil menyeberang ke Azerbaijan setelah 7 jam mengantre di perbatasan. Betul-betul melelahkan.
“Masuk [border] jam 8 habis magrib, dan baru keluar jam 3 pagi,” kata Purkon.
Dari perbatasan, para WNI dijemput Dubes RI untuk Azerbaijan. Mereka diantar dengan bus selama empat jam menuju Baku, ibu kota Azerbaijan.
Purkon dan puluhan WNI itu diinapkan di Baku selama tiga hari, dari 21–23 Juni, sembari pihak KBRI menyusun strategi pemulangan. Rencananya, untuk terbang ke Indonesia, rombongan dibagi menjadi beberapa kloter. Ada yang terbang ke lewat Turki, juga lewat Qatar.
Purkon masuk kloter yang mengambil rute Qatar. Mereka rencananya terbang dengan pesawat komersial Qatar Airways untuk transit di Doha, kemudian disambung Garuda Indonesia.

Senin (23/6), sekitar pukul 5 sore, rombongan Purkon melanjutkan perjalanan dengan terbang ke Doha. Siapa sangka masalah muncul kala pesawat yang mereka tumpangi mengudara. Ketika itu Iran menyerang pangkalan militer AS di Qatar. Imbasnya, bandara di Qatar ditutup.
Padahal, jarak penerbangan dari Baku ke Doha sebenarnya tak terlalu jauh, hanya 2 jam penerbangan dalam situasi normal. Namun, serangan balasan Iran ke AS—yang lebih dulu menyerang fasilitas nuklir Iran—membuat rombongan Purkon harus menunggu seharian dalam pesawat.
Pesawat kemudian mendarat darurat di Jeddah, Arab Saudi. Nahasnya, karena Jeddah bukanlah tujuan sebenarnya dari pesawat yang ditumpangi Purkon dkk, maka mereka tidak turun dari pesawat. Jadi, sebetulnya pesawat tersebut hanya menumpang parkir sembari menunggu Bandara Doha dibuka.
Rombongan Purkon terpaksa diam di dalam pesawat yang terparkir selama 6 jam lebih. Sungguh meletihkan. “Bayangkan saja,” ujar Purkon.
Lewat dari enam jam, barulah pilot mengumumkan bahwa Bandara Doha sudah dibuka. Purkon dkk pun lanjut terbang menuju Doha, dan mendarat Rabu (25/6).

Tiba di Doha, masalah belum berakhir. Situasi bandara seperti chaos. Karena bandara itu baru dibuka, penumpang menumpuk dan mengantre di sana sini. Pesawat yang hendak mendarat dan terbang pun harus mengantre.
Bandara penuh sesak. KBRI Doha bahkan tak bisa mengakses penggantian tiket Purkon dkk untuk terbang ke Jakarta. Mereka harus ganti tiket karena Garuda Indonesia yang hendak ditumpangi dari Doha, batal terbang dari Jakarta usai serangan 23 Juni itu.
“Orang-orang dari berbagai negara antre sampai panjang, satu kilo. Terus ada yang gendong bayi, segala macam, kasihan juga. Semua mau ganti tiket,” kata Purkon yang juga mengkhawatirkan anaknya yang masih kecil akan drop dalam perjalanan.
Setelah cukup lama menunggu dan dibantu KBRI Doha berkomunikasi dengan maskapai, rombongan Purkon akhirnya mendapat tiket penerbangan ke Jakarta pada Kamis, 26 Juni, pukul 3 pagi. Mereka pun tiba di Indonesia pukul 4 sore.
Bila dihitung, hampir seminggu Purkon dan keluarganya menghabiskan waktu transit berpindah-pindah sebelum sampai ke Indonesia. Mereka melintasi beberapa negara; berpacu di darat dan udara.

Selain Purkon, ada juga Sulthon Fathoni, mahasiswa asal Indonesia yang ikut evakuasi. Ia meninggalkan kuliahnya sementara waktu. Perkuliahan Sulthoni sebenarnya sudah masuk tahap ujian akhir semester. Namun sejak serangan Israel, perkuliahan ditunda.
Mulanya ujian semesternya diundur tiga minggu, tapi saat memasuki minggu keempat perang belum reda, maka diputuskan oleh Menteri Pendidikan Iran agar perkuliahan diundur sampai semester depan. Sulthoni beda dengan Purkon. Tinggalnya jauh dari kengerian Teheran.
Sulthoni menetap di Iran bagian timur, tepatnya Kota Mashhad sejak tahun 2021. Ia kuliah di Universitas Ferdowsi Mashhad. Kota yang ditempati Sulthoni relatif aman. Kehidupan sehari-hari tetap tampak normal meskipun ada beberapa anterin di stasiun bahan bakar. Gejala panic buying.
Kehidupan kota, kata dia, normal-normal saja. Satu-satunya yang membuat sedikit mencekam adalah isu mata-mata. Orang bisa saja saling laporan ke polisi karena dicurigai sebagai mata. Segala sesuatu yang dicurigai menyimpan drone atau bom, dari mobil hingga boks-boks mencurigakan berisi roket bisa seketika digeledah.
“Jadi kondisinya itu nampak seram karena ada kayak gitu-gitu. Suruh melaporkan,” ujar Sulthoni kepada kumparan, Rabu (25/6).

Sulthoni pernah melihat serangan bom dari rumahnya. Namun mereka menganggapnya biasanya. Belum termasuk kondisi mencekam. Bukan serangan bom yang bertubi-tubi seperti di Teheran.
“Sempet di rumah itu jadi boom boom boom kek gitu beberapa kali sore terus besoknya lagi boom boom. Pertama memang kaget ya keluar, saya keluar, itu orang di sekitar rumah saya juga keluar semuanya,” terangnya.
Kendati tempat tinggalnya tergolong aman, Sulthoni tetap memutuskan ikut evakuasi KBRI. Keluarganya di Indonesia mengkhawatirkannya. Keluarganya panik. Sementara sisi lain Sulthoni tak semudah biasanya komunikasi ke Tanah Air. Akses internet di Iran saat serangan dibatasi. Aplikasi di luar buatan Iran diblokir.
Kondisi itu yang membuat Sulthoni memutuskan pulang ke Indonesia. Tak ingin keluarga terlalu mengkhawatirkannya. Ia lalu mendaftar ke rombongan KBRI dan dimasukkan pada kloter Turki. Sehingga kepulangannya pun lancar-lancar saja.
“Kami setelah transit di Turki, di situ sudah dijemput oleh KBRI Turki. Jadi lancar, yang antri kita diarahkan agar tidak antre,” imbuh Sulthoni.