
MANTAN Panglima TNI dan juga mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo angkat bicara perihal laporan IndonesiaLeaks soal mangkraknya perumahan untuk prajurit. Kasus ini menyeret nama eks KASAD Dudung Abdurrachman.
Kasus ini menjadi bahasan lantaran setiap prajurit lulusan Tamtama harus menerima gaji mereka dipotong dengan nominal besar demi bisa mendapatkan jatah perumahan yang pembangunannya dikelola lewat Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan (BP TWP).
Gatot mengatakan dirinya tidak percaya dengan hal demikian. Sebab menurut dia, pemimpin harus mencintai prajurit dan keluarganya dengan segenap hati dan pikirannya, sehingga info tentang prajurit TNI yang baru lulus pendidikan 1, 2, dan 3 tahun wajib membeli rumah itu tidak benar.
"Justru prajurit TNI yang baru lulus pendidikan wajib tinggal di barak-barak satuan. Sehingga belum boleh melakukan pembelian rumah. Pembelian rumah baru bisa dilakukan jika prajurit tersebut akan berumah tangga atau sudah berumah tangga dan belum punya rumah. Jadi itu kebutuhan prajurit, bukan pemaksaan. Sehingga wajar dong kalau saya tidak percaya," ujar Gatot dikutip dari siaran pers yang diterima, Senin (11/8).
Gatot menjelaskan, untuk pembelian rumah, prajurit harus mengikuti prosedur yang memerlukan perumahan mendaftar kepada satuan. Kemudian dari satuan, secara berjenjang melapor pada atasannya. Lalu satuan baru bisa memprosesnya lewat BP TWP. Selanjutnya BP TWP menunjuk beberapa pengembang dan mempresentasikan tempat serta bentuk rumah.
"Selanjutnya satuan dan prajurit yang akan membeli rumah meninjau tanah sesuai yang disampaikan, melihat rumah contoh yang dibangun di tanah tersebut, serta memastikan ada angkutan umum lewat, dekat pasar, sekolah, dan lain-lain. Setelah itu, prajurit yang setuju mendaftar ulang. Yang tidak setuju, tidak usah mendaftar," jelasnya.
Menurut Gatot, uang yang dimiliki prajurit dan masuk ke TWP nantinya akan meringankan untuk membayar uang muka. "Nah, uang angsuran baru dipotong dari gaji sebesar maksimal 30 persen. Prajurit juga tidak boleh dipaksa untuk itu," tegas Gatot.
Mekanisme itu, sambung Gatot, sudah berlangsung sejak lama. Gatot mengaku proses tersebut sudah ada sejak dirinya menjabat KASAD medio 2015 hingga 2017 silam.
"Di era saya memang ada TWP, dan prosedurnya seperti yang saya jelaskan tadi. Itu melibatkan unsur satuan. Setelah diskusi, jika setuju baru dilaksanakan, dengan catatan pemotongan gaji maksimal hanya 30 persen. Dan itu ketentuannya hanya untuk prajurit yang sudah memenuhi ketentuan untuk membeli rumah," sebut dia.
Dengan mekanisme demikian, KASAD atau bahkan BP TWP, kata Gatot, tidak boleh mengeluarkan ketentuan lewat Surat Telegram (ST) untuk memungut uang dari TWP dan uang prajurit.
"Karena yang memotong uang angsuran adalah bank. Sebab itu sudah menjadi ketentuan baku. Ketua TWP pun tidak bisa mengambil uang (dari prajurit). Kalaupun ada, harus dilaporkan kepada KASAD. Kemudian KASAD merapatkannya dengan jajaran," tukasnya.
Faktor demikianlah yang membuat Gatot tidak mempercayai laporan IndonesiaLeaks tersebut, apalagi dengan adanya informasi perihal pemotongan gaji prajurit sampai 80%. Bagi dia, hal demikian sama dengan membunuh prajurit secara perlahan.
"Pemotongan 80% itu membunuh secara perlahan. Dengan sisa yang diterima prajurit, prajurit tidak bisa hidup normal dan makan bergizi. Jika itu betul, dengan latihan yang berat dan kekurangan gizi, bahaya bagi kesehatannya. Makanya saya tidak percaya itu. Karena tugas pemimpin adalah memberi kesejahteraan, dan kesejahteraan yang paling utama adalah latihan. Itu adalah tugas yang paling hakiki dari seorang pemimpin," bebernya.
Dengan adanya dugaan tersebut, Gatot mendorong TNI AD untuk menurunkan penyidik dan menyelidiki informasi tersebut, apalagi dengan adanya informasi temuan Inspektorat Jenderal Angkatan Darat (Irjenad) soal penggunaan dana BP TWP yang mencapai Rp586 miliar lebih.
Penyidikan perlu dilakukan untuk mengkroscek semua informasi yang beredar, sekaligus menelusuri jejak kebijakan yang ditelurkan lewat Surat Telegram bertajuk Keputusan KSAD Nomor Kep/181/III/2018 itu. Hal ini penting untuk memberi pernyataan pers sehingga masalahnya menjadi jelas serta tidak liar sesuai persepsi publik.
"Soal audit? Masalahnya sekarang ini, yang bertandatangan itu siapa? Tinggal ditelusuri saja sebenarnya. Sekarang kan lewat medsos tulisan saja bisa dibikin-bikin. Sebab sekali lagi saya tegaskan, KASAD tidak boleh menandatangani telegram untuk penarikan uang," tutur Gatot.
"Sebaiknya ada penyidik dari Angkatan Darat, lalu ditelusuri asal muasal kebijakan tersebut, sehingga semua jadi jelas," pungkasnya. (E-4)