JUMLAH guru honorer meningkat secara signifikan di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat dalam tiga tahun terakhir. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Zunaidin mengatakan telah mengeluarkan surat keputusan pengangkatan guru honorer tidak kurang dari tujuh ribu sejak 2022.
Menurut dia, hal ini terjadi lantaran menumpuknya lulusan sarjana di daerahnya, sementara lapangan pekerjaan tidak tersedia. "Anak bangsa yang sudah tamat S1 ini bagaimana. Saya selalu pemerintah kan kewajiban membuka ruang, toh mereka tidak mengambil hak orang," kata Zunaidin kepada Tempo saat ditemui di kantornya, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Rabu, 6 Agustus 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fenomena menumpuknya tenaga honorer ini hampir terjadi di semua sekolah di Kabupaten Bima dengan rata-rata per satu sekolah memiliki 40 guru. Salah satu contohnya SD Inpres Bala, Kecamatan Wera, Bima, NTB. SD Inpres Bala memiliki 31 tenaga pengajar dengan 21 di antaranya merupakan guru honorer. Adapun jumlah siswa 112 anak.
Kepala Sekolah SD Inpres Bala, Abdul Majid mengatakan biasanya ia menempatkan per kelas 4 guru dalam satu jam pembelajaran. "Tapi kadang-kadang mereka juga tidak datang, karena tidak ada paksaan mereka masuk," kata dia di kantornya, Rabu, 6 Agustus 2025.
Majid menjelaskan, lonjakan jumlah guru sukarela--sebutan untuk guru honorer di Kabupaten Bima--ini terjadi sejak ada pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sarjana yang semula bekerja sebagai petani atau merantau ke kota berbondong-bondong melamar untuk ikut menjadi guru honorer di sekolah. "Dengan harapan nantinya bisa diangkat jadi ASN," tutur dia.
Keberadaan para guru sukarela ini menjadi dilematis bagi Abdul Majid. Di satu sisi, keberadaan mereka cukup membebani dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang membuat 50 persen di antaranya digunakan untuk menggaji mereka. Namun, di sisi lain uang tersebut tidak mensejahterakan guru.
Guru honorer di Bima rata-rata digaji Rp 500 ribu per enam bulan. "Tapi kadang-kadang juga kurang, tergantung kalau ada kebutuhan lain," tutur Majid. Ia mengaku tidak bisa menolak setiap ada guru yang melamar lantaran hal tersebut sudah lumrah terjadi di seluruh sekolah di Kabupaten Bima.
Melimpahnya guru honorer juga terjadi di SD Inpres Sangiangpulau yakni sebanyak 45 guru. Lalu di SD Swasta Miswora sebanyak 40 guru, SMP 4 Wora sebanyak 70 guru, dan SD Negeri Teh sebanyak 25 guru dengan jumlah murid di masing-masing sekolah kurang dari 150 siswa.
Kepala Sekolah SD Inpres Sangiangpulau Muhammad Shalihin mengatakan mereka bekerja secara sukarela. Artinya, gaji yang diberikan sekolah kepada guru honorer ini tidak menentu tergantung pada dana BOS yang mereka dapatkan. "Kalau sekarang kan pemerintah aturannya dibatasi jadi 20 persen dari dana BOS, ya paling (satu guru) Rp 150 ribu per semester," tutur dia.
Shalihin mengaku sebetulnya ia keberatan dengan banyaknya guru honorer ini. Sebab, anggaran yang semula bisa cukup untuk mensejahterakan guru honorer yang telah lama mengabdi, menjadi harus dibagi kepada puluhan orang. Kendati begitu, ia juga menyadari tidak dapat menolak mereka. "Ya gimana, sarjana pendidikan di sini banyak dan sekolah kan cuma segitu-gitu aja," tutur dia.
Selain karena tidak ada lapangan pekerjaan, Zunaidin mengatakan faktor sosial budaya juga turut menyebabkan banyak masyarakat Kabupaten Bima memilih kuliah sarjana pendidikan, dan bekerja sebagai guru honorer meski tidak mendapat gaji yang layak.
Menurut dia, secara kultural, warga Bima memandang bekerja sebagai guru dengan menggunakan seragam merupakan indikator kesuksesan seseorang. "Yang penting jadi guru dulu. Karena di kami, guru itu derajatnya paling mulia kedua setelah keluarga sultan," ucapnya.
Pilihan Editor: Kenapa Pengangkatan Guru Honorer Skema PPPK Tak Adil