
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengaku menjadi korban dari percakapan "ayo mainkan" dari eks Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan, terkait kesepakatan dana operasional pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku.
Hal itu disampaikan Hasto saat membacakan duplik atau jawaban atas tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap pembelaannya, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (18/7).
Mulanya, Hasto menegaskan tidak pernah menyetujui langkah-langkah kebijakan partai di luar proses hukum.
"Selaku Sekjen Partai maupun secara pribadi, saya tidak pernah menyetujui langkah-langkah kebijakan partai di luar proses hukum," kata Hasto dalam persidangan, Jumat (18/7).
"Bahwa ajaran actus reus dan mens rea dalam hukum pidana mengharuskan adanya perbuatan melawan hukum dan niat jahat pada diri terdakwa," jelas dia.
Ia justru menjadi korban dari kesepakatan dana operasional pengurusan PAW Masiku tersebut.
"Dalam proses pembuktian tersebut, Terdakwa justru menjadi korban 'ayo mainkan' Wahyu Setiawan dengan kesepakatan dana operasional yang juga untuk kepentingan pribadi yang dilakukan Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, beserta Harun Masiku," tutur Hasto.

Adapun KPK menyebut ungkapan "mainkan" itu sebagai respons Wahyu saat diminta utusan PDIP, Agustiani Tio, membantu memperjuangkan caleg PDIP Harun Masiku menjadi anggota DPR.
Dalam komunikasi dengan Wahyu itu, Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa Mahkamah Agung (MA) yang diyakini PDIP bisa menjadi dasar KPU menjadikan Harun anggota DPR. Faktanya tidak bisa.
Saat itu, sebetulnya KPU sudah memutuskan resmi bahwa caleg pengganti Nazaruddin Kiemas yang meninggal adalah Riezky Aprilia sebagai peraih suara terbanyak berikutnya di dapil, namun PDIP meminta agar yang menggantikan Harun Masiku, peraih suara terbanyak keenam.
Setelah permintaan DPP PDIP ditolak KPU, PDIP meminta fatwa MA yang diklaim bisa meloloskan permintaan mereka ke KPU. Lalu, secara resmi PDIP bersurat ke KPU, tapi di belakang itu, Agustiani Tio melobi Wahyu Setiawan.
Terkait hal itu, Wahyu juga sempat menyampaikan tanggapannya dalam sidang pelanggaran etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Januari 2020 lalu.
Menurut Wahyu, ungkapan "siap mainkan" itu ditafsirkan berbeda seolah dia mengamini kongkalikong caleg PDIP. Padahal sejak awal Agustiani Tio meminta bantuannya, Wahyu menjawab tidak bisa. Wahyu sebagaimana pimpinan KPU lain patuh pada UU Pemilu.
Tapi, Agustiani yang disebut Wahyu utusan PDIP itu terus melobi Wahyu hingga terjadi pertemuan di luar kantor KPU bersama dua oknum PDIP lain, Saeful dan Donny. Terjadilah suap di antara proses itu menurut KPK, dan mereka ditangkap di tempat berbeda.
Kasus Hasto

Dalam kasusnya, Hasto dituntut pidana 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp 600 juta subsider pidana kurungan 6 bulan.
Jaksa KPK meyakini Hasto terbukti melakukan suap dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku. Hal ini terkait mengupayakan Harun agar menjadi anggota DPR RI lewat mekanisme pergantian antar waktu (PAW). Suap itu diberikan kepada eks komisioner KPU RI Wahyu Setiawan.
Terkait perkara perintangan penyidikan, Hasto disebut memerintahkan Nurhasan—seorang penjaga rumah yang biasa digunakan sebagai kantornya—untuk menelepon Masiku supaya merendam hpnya dalam air dan segera melarikan diri.
Lalu, pada 6 Juni 2024, atau 4 hari sebelum Hasto diperiksa sebagai saksi terkait Masiku, ia juga memerintahkan stafnya yang bernama Kusnadi untuk menenggelamkan hp milik Kusnadi agar tidak ditemukan oleh KPK.