
DRAMA Korea Aema dari Netflix tengah ramai diperbincangkan di media sosial, terutama setelah beberapa adegan beraninya menjadi viral. Serial ini tidak sekadar menonjolkan konten sensualnya saja, tetapi juga menggali isu seksisme dan eksploitasi dalam industri perfilman Korea pada era 1980-an. Penonton tertarik karena alur ceritanya yang menawan, latar sejarah yang kaya, serta kualitas akting para pemain yang memukau.
Berlatar tahun 1981, Aema mengikuti kisah Jeong Hee Ran, diperankan Lee Hanee, seorang aktris senior yang menolak untuk terus melakukan adegan intim, sehingga ia digantikan penari pemula Shin Ju-ae, diperankan Bang Hyo-rin. Keduanya menghadapi industri film yang didominasi laki-laki, menentang praktik eksploitatif, dan ikut membentuk kembali narasi film erotis pertama Korea, Madame Aema.
Serial ini juga menampilkan Jin Seon-kyu dan Cho Hyun-chul, dengan Lee Hae-young sebagai sutradara sekaligus penulis skenario. Terdiri dari enam episode, masing-masing berdurasi sekitar 55 menit, Aema memadukan humor dan drama, serta menyajikan alur cerita yang memikat dan tetap relevan bagi penonton masa kini.
Box Office
Drama ini seolah-olah membawa penonton ke balik layar pembuatan Madame Aema, yakni sebuah fenomena box office pada 1982 yang dikenal sebagai film erotis pertama Korea sekaligus film tengah malam pertama. Kesuksesannya memuncaki tangga box office dan kemudian melahirkan sekuel langsung serta 16 spin-off dan reboot.
Nyata atau Fiksi?
Meskipun Madame Aema adalah film nyata, Aema mengambil beberapa elemen inspirasinya. Seperti adegan perempuan menunggang kuda yang melambangkan kontrol atas hasrat. Namun sebagian besar detailnya sepenuhnya fiksi, termasuk karakter-karakternya, yang namanya tidak akan ditemukan dalam catatan sejarah perfilman korea manapun.
Sebagian besar adegan di Aema berlangsung di sepanjang jalan Chungmuro, sebuah jalan utama di pusat Seoul yang dulunya menjadi jantung industri film Korea. Kawasan ini pernah menjadi tempat berkumpulnya agensi film dan bioskop, termasuk Dansungsa, salah satu bioskop tertua di Korea. Dalam Aema, Chungmuro digambarkan sebagai lokasi kantor pusat Shinsung Pictures.
Alih-alih menekankan akurasi sejarah, serial ini lebih fokus pada penciptaan adegan-adegan yang hidup dan energik. Hal ini membuat Aema penuh dengan karakterisasi berlebihan dan generalisasi, yang terkadang mengurangi kekuatan pesan utamanya tentang solidaritas perempuan.
Aema menawarkan gaya yang atraktif dan menghibur, tetapi pada akhirnya cerita ini bergerak lepas, masuk ke dalam fantasi ciptaannya sendiri, sehingga tujuan dan keinginannya sedikit tidak jelas. (South China Morning Post/India Times/Time/Z-2)