
DEMONSTRASI anti-pemerintah di Israel terus meningkat sejak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyetujui rencana pendudukan penuh atas Jalur Gaza. Rencananya itu dikecam karena membahayakan keselamatan para tawanan Israel dan menguras sumber daya militer.
Kanal 12 Israel melaporkan sekitar 60.000 pengunjuk rasa berkumpul di Hostage Square, Tel Aviv, Sabtu malam (9/8) waktu setempat. Mereka memblokade jalan-jalan pusat kota Tel Aviv guna menuntut kesepakatan pertukaran tahanan dengan faksi-faksi Palestina
“Anak-anak kami masih berada di Gaza karena seseorang memutuskan untuk meninggalkan mereka,” demikian pernyataan keluarga para sandera Israel yang dibacakan dalam aksi tersebut.
Puluhan ribu demonstran Israel juga menyuarakan penolakan terhadap keputusan pemerintah menduduki kembali Jalur Gaza. Dari 50 orang yang masih ditahan di Gaza, diperkirakan setidaknya ada sekitar 20 orang diyakini masih hidup.
“Keputusan Netanyahu terkait Gaza bertentangan dengan pendapat Kepala Staf IDF (Eyal Zamir) dan mengorbankan anak-anak kami,” ucap mereka mengingatkan sambil menegaskan bahwa tindakan pemerintah “tidak sejalan dengan kepentingan negara maupun rakyat.”
Selain unjuk rasa di Tel Aviv dan Yerusalem, Sabtu (9/8) waktu setempat keluarga sandera juga menggelar protes di lepas Pantai Gaza, Palestina, mendesak pemerintah Israel untuk mencabut kesepakatan perluasan operasi militer di wilayah tersebut.
Ayah dari tentara Israel yang ditawan di Gaza berbicara melalui pengeras suara saat kapal bergerak menuju garis pantai. Ia mendesak PM Israel, Benjamin Natanyahu untuk memprioritaskan para sandera daripada urusan politik.
KECAMAN DUNIA LUAR
Komite Menteri yang dimandatkan oleh KTT Luar Biasa Arab-Islam terkait perkembangan di Gaza mengecam keras dan menolak tegas atas pengumuman Israel tentang niatnya memaksakan kontrol militer penuh atas Jalur Gaza.
Komite yang terdiri dari 23 negara Islam itu, termasuk Indonesia, serta Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), menegaskan tindakan yang dinyatakan oleh Israel merupakan kelanjutan dari pelanggaran berat mereka.
"Kami menganggap pengumuman ini sebagai eskalasi berbahaya dan tidak dapat diterima," menurut pernyataan gabungan Komite Menteri tentang perkembangan yang terjadi di Jalur Gaza, sebagaimana keterangan di situs resmi Kementerian Luar Negeri, Sabtu.
Komite Menteri itu menganggap pengumuman tersebut sebagai pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan usaha untuk mempertahankan pendudukan ilegal serta memaksakan kondisi di lapangan dengan aksi kekerasan, yang bertentangan dengan legitimasi internasional.
Mereka menyerukan kepada masyarakat internasional, khususnya anggota tetap Dewan Keamanan, untuk memikul tanggung jawab hukum dan kemanusiaan mereka dan mengambil tindakan segera untuk menghentikan kebijakan agresif ilegal Israel yang bertujuan untuk merusak prospek perdamaian yang adil dan abadi.
Di sisi lain, ratusan ribu demonstran di berbagai negara Eropa menggelar aksi unjuk rasa, Sabtu (9/8) sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza. Mereka menuntut diakhirinya serangan Israel terhadap wilayah tersebut.
Warga Inggris di London memenuhi jalan-jalan untuk memprotes serangan tersebut dan menuntut gencatan senjata segera, sebagian bagian dari aksi bertajuk 30th National March for Palestine.
Palestine Solidarity Campaign (PSC), salah satu penyelenggara aksi unjuk rasa pro-Palestina berskala nasional, menulis di platform X sebelum aksi bahwa Israel secara sistematis membuat warga Gaza kelaparan hingga meninggal.
“Pemerintah kita harus bertindak untuk menghentikan genosida yang dilakukan Israel,” kata mereka. (Ant/I-1)