Jakarta, CNBC Indonesia - China tengah mempercepat modernisasi persenjataan nuklirnya dalam upaya menekan Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya di Asia tanpa harus berperang. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Hudson Institute yang dirilis belum lama ini.
Menurut laporan berjudul "Implikasi Modernisasi Senjata Nuklir China bagi Amerika Serikat dan Sekutu Regional" yang dirilis Rabu (30/7/2025), Beijing memanfaatkan perkembangan senjata nuklir bukan untuk memenangkan perang secara langsung, melainkan untuk menciptakan efek psikologis dan politik guna mendulang keunggulan strategis di kawasan.
"Modernisasi persenjataan nuklir ada untuk memungkinkan China menyerang rencana (strategi) dan sekutu musuh, membawa China selangkah lebih dekat untuk menaklukkan musuh dan menang tanpa harus berperang," tulis para peneliti John Lee dari Hudson Institute dan Lavina Lee dari Macquarie University dalam laporan tersebut, seperti dikutip Newsweek.
Laporan itu menyebut bahwa China menggunakan "ancaman nuklir tersirat" untuk mencegah negara-negara seperti Filipina, Jepang, dan Korea Selatan memperkuat kerja sama militer dengan Washington, khususnya dalam skenario konflik di Selat Taiwan. Dalam kasus Filipina, ancaman nuklir tersirat digunakan untuk menghambat integrasi militer Manila ke dalam sistem pertahanan kolektif AS.
Di Jepang, China menciptakan tekanan psikologis yang melemahkan keyakinan terhadap efektivitas payung nuklir Amerika Serikat. Sementara di Korea Selatan, ancaman nuklir China disebut bisa muncul jika Seoul menyetujui kehadiran senjata nuklir AS di wilayahnya, meskipun saat ini fokus utama negara tersebut masih tertuju pada Korea Utara.
Laporan juga menyoroti bahwa strategi nuklir China tidak hanya bertujuan mencegah serangan musuh, tetapi juga untuk menahan langkah musuh sembari memperluas ruang gerak geopolitik Beijing. Konsep ini disebut selaras dengan visi China soal "stabilitas strategis", yakni kondisi ketika musuh enggan bertindak, namun China tetap bisa melanjutkan tujuannya.
Presiden Xi Jinping disebut telah memerintahkan percepatan penguatan kekuatan penangkal strategis sebagai bagian dari modernisasi militer nasional. Data dari Departemen Pertahanan AS dan Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm mencatat China kini memiliki sekitar 600 hulu ledak nuklir, naik 100 dalam setahun. Angka itu diperkirakan melampaui 1.000 hulu ledak pada 2030, meski masih jauh di bawah kepemilikan nuklir AS dan Rusia.
Menanggapi laporan tersebut, Kedutaan Besar China di Washington menyampaikan bahwa strategi nuklir Beijing bersifat defensif dan mengedepankan prinsip non-agresif.
"China mematuhi kebijakan tidak menggunakan senjata nuklir terlebih dahulu dalam keadaan apa pun dan kapan pun, dan berkomitmen tanpa syarat untuk tidak menggunakan atau mengancam akan menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara non-senjata nuklir," kata Kedubes China.
Beijing juga menegaskan bahwa pihaknya tidak terlibat dalam perlombaan senjata dan hanya menjaga kekuatan nuklir pada tingkat minimum yang dibutuhkan untuk keamanan nasional.
Laporan Hudson Institute menyimpulkan bahwa modernisasi nuklir China justru bisa menjadi bumerang. "AS dan sekutunya perlu meyakinkan Beijing bahwa langkah tersebut hanya akan mempercepat penyeimbangan kekuatan militer, membuat kemenangan atas Taiwan makin mahal dan kecil kemungkinannya," tulis laporan itu.
Dengan dinamika tersebut, baik China maupun AS serta negara-negara nuklir besar lainnya diperkirakan akan terus memperbarui dan meningkatkan arsenal senjata nuklir mereka dalam beberapa tahun ke depan.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: AS & Iran Akhiri Diskusi Putaran 2 Program Nuklir Teheran