Catatan Cak AT: Ngantuk Cacing

3 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
 Dok RIZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Ngantuk Cacing. (Foto: Dok RIZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di negeri yang rajin pamer pertumbuhan ekonomi dan suka mem-branding diri dengan “bonus demografi”, ada satu berita yang bikin mata mendadak segar meski kopi belum teguk. Seorang balita empat tahun di Sukabumi, Jawa Barat, meninggal karena cacingan.

Ya, cacing. Makhluk yang biasanya cuma muncul di buku IPA SD atau jadi umpan mancing, di sini berubah status: dari figuran menjadi aktor utama dalam tragedi bangsa.

Dan, ketika wartawan menanyakan tragedi ini kepada Menko PMK, jawabannya singkat: “Saya ngantuk.”

Seandainya itu lelucon di panggung _stand-up comedy,_ penonton pasti tertawa. Sayangnya, ini realita, dan tawa kita mendadak tercekat di tenggorokan. Baru sehari kemudian, mungkin setelah kantuk reda atau mungkin diingatkan presiden, barulah Pak Menko mulai bersuara.

Baca juga: Instrumen Evaluasi Promosi Kesehatan oleh Kemenkes, Depok Jadi Lokasi Uji Coba

Cacingan bukan penyakit ecek-ecek. Menurut WHO, sekitar 1,5 miliar orang di dunia masih terinfeksi soil-transmitted helminths (STH). Di Indonesia sendiri, data Kemenkes mencatat prevalensi kecacingan pada anak SD rata-rata 28%, bahkan di beberapa daerah tembus 62%.

Artinya, lebih dari separuh perut anak-anak kita bisa jadi dihuni cacing. Astaghfirullah. Efeknya jangan disepelekan: anemia, gizi buruk, penurunan kecerdasan, hingga stunting. Dan dalam kasus ekstrem —seperti di Sukabumi— berujung pada kematian.

Tapi bangsa ini sudah terlalu akrab dengan kata “terabaikan.” Jalan rusak dibiarkan puluhan tahun, sekolah reyot menunggu rubuh, sampai usus anak-anak yang jadi apartemen cacing pun dianggap lumrah —sampai ada yang mati, lalu jadi berita.

Baca juga: Mau Dirikan Bagunan di Depok? Begini Cara Urus Ijin Rekomtek Peil Banjir

Mari kita bayangkan ulang beritanya yang viral. Wartawan bertanya soal balita miskin yang tubuhnya dipenuhi cacing. Jawaban pejabat: “Saya ngantuk.” Seolah empati itu butuh alarm. Kalau saja ada bantal guling di meja konferensi pers, mungkin malah kantuknya hilang.

Padahal publik tidak menuntut solusi instan malam itu juga. Tak perlu janji “cacing akan dimusnahkan sebelum ayam berkokok.” Yang dibutuhkan cuma kalimat sederhana: “Innalillah. Kami turut berduka. Ini alarm bagi kita semua.”

Tak perlu ia membeberkan _grand design_ pemusnahan jutaan cacing yang bersemayam di perut anak-anak Indonesia. Cukup tunjukkan rasa kemanusiaan dan sikap empati, sebelum bicara teknis birokrasi yang pasti melibatkan banyak instansi.

Baca juga: APAFEST 2025 Jawab Tantangan Profesi Akuntansi di Era Global

Esoknya, tentu saja, keluar pernyataan resmi: pemerintah “aware, tanggap, segera bertindak.” Dari politisi, pak Menko sendiri, hingga gubernur, semua bicara. Kalimat mereka khas birokrasi, lengkap dengan bumbu koordinasi lintas sektor.

Namun publik terlanjur mencatat: yang pertama keluar dari mulut pejabat bukan belasungkawa, melainkan kantuk. Itu simbolik. Seolah negara sedang memainkan teater absurd: anak mati karena penyakit abad ke-19 di abad ke-21, sementara pejabatnya mengantuk.

Pertanyaan publik sederhana: apakah cacingan bisa diatasi? Jawabannya: bisa. Dan murah. WHO sejak lama merekomendasikan albendazole dan mebendazole sebagai obat utama. Murah, efektif, bisa dibagikan lewat sekolah dan posyandu.

Namun ada obat lain yang sangat manjur: ivermectin. Obat ini terbukti sangat efektif melawan Ascaris lumbricoides (cacing gelang), setara dengan albendazole. Semasa pandemi Covid-19, ivermectin sempat populer, meski kontroversial, lalu keburu dicap “obat hewan” di sini.

Baca juga: Catatan Cak AT: Kunci Segala Pintu

Padahal, bukti medisnya jelas, ivermectin dibuat untuk kecacingan. Di Brasil, program pemberian massal ivermectin menurunkan prevalensi ascariasis drastis: dari 17% menjadi hanya 0,4% dalam sebulan —dan tetap rendah bahkan sembilan bulan kemudian.

Kombinasi ivermectin + albendazole juga efektif untuk Trichuris trichiura (cacing cambuk) yang lebih bandel. Dan khusus untuk Strongyloides stercoralis, ivermectin justru menjadi obat utama, dengan tingkat kesembuhan lebih dari 90%.

Strongyloides stercoralis adalah cacing gelang kecil yang sering lolos dari perhatian, justru karena ukurannya. Larvanya bisa langsung menembus kulit, biasanya saat seseorang berjalan tanpa alas kaki di tanah tercemar. Dari kaki, ia menumpang darah, singgah di paru-paru, lalu ikut tertelan dan menetap di usus halus.

Baca juga: Fraksi PDIP Bongkar Data Pengangkatan PPPK, Bantah Klaim Bupati Eman

Berbeda dengan Ascaris yang butuh keluar untuk berkembang biak, Strongyloides bisa melakukan autoinfeksi. Larva yang menetas di usus bisa kembali menyerang tubuh yang sama —menembus dinding usus atau kulit sekitar anus. Akibatnya, infeksi bisa bertahan bertahun-tahun, bahkan seumur hidup.

Pada orang sehat, gejalanya mungkin ringan: diare, sakit perut, ruam, atau batuk. Kadang tanpa gejala sama sekali. Tetapi pada orang dengan daya tahan lemah, Strongyloides bisa berubah jadi bencana. Larva menyebar masif ke paru, hati, bahkan otak, menimbulkan hyperinfection syndrome yang sering berakhir fatal.

Karena itulah WHO pada 2024 merekomendasikan penggunaan massal ivermectin di daerah dengan prevalensi Strongyloides cukup tinggi.

Jadi, kalau Ascaris ibarat perampok yang datang terang-terangan dengan tubuh besar, Strongyloides adalah pencuri licik: kecil, gesit, dan betah bersembunyi. Sama-sama berbahaya, hanya cara menyerang dan konsekuensinya berbeda.

Baca juga: Tinju Indonesia Bangkit! Raih 3 Emas, 2 Perak, 1 Perunggu di Taipei

Dengan kata lain, kita punya banyak amunisi. Termasuk untuk melawan cacing paling bandel sekalipun. Tetapi apa gunanya senjata hebat kalau yang memegangnya ketiduran?

Negara ini punya banyak slogan mulia: Indonesia Emas 2045, bonus demografi, generasi unggul. Tapi slogan itu terdengar absurd ketika anak-anak masih mati karena cacing —penyakit yang bisa dicegah dengan obat semurah gorengan.

Lucunya, cacing itu rajin. Ia bekerja siang malam, menyusup lewat tanah, air, kuku, dan makanan. Makhluk kecil ciptaan Tuhan ini tak pernah ngantuk. Sementara manusia —makhluk besar ciptaan Tuhan juga— kadang lebih dulu kalah oleh kantuk ketimbang rasa empati.

Baca juga: Dukung Ketahanan Energi Nasional, Pertamina Perkuat Kemitraan dengan Supplier

Maka jika bangsa ini masih terus mengantuk menghadapi masalah mendasar seperti gizi, sanitasi, dan kesehatan anak, jangan kaget jika suatu hari kita terbangun bukan dalam “mimpi emas,” melainkan kenyataan pahit: bonus demografi yang berubah jadi bonus cacingan. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 23/8/2025

Read Entire Article