
Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan bakal menulis ulang sejarah Indonesia. Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, pihaknya akan menulis sebanyak 10 jilid buku.
Fadli yang merupakan politikus Gerindra ini mengatakan, jika seluruh sejarah Indonesia ditulis, jumlahnya bisa mencapai 100 jilid. Oleh sebab itu Kemenbud hanya akan menulis 10 jilid.
Namun, rencana pemerintah menulis ulang sejarah menuai pro dan kontra. Beberapa anggota DPR hingga akademisi dan sejarawan melemparkan kritik.
Kritik disampaikan karena pemerintah dinilai tergesa-gesa dan tertutup dalam menulis sejarah ulang. Pemerintah kemudian menggelar uji publik draf penulisan buku sejarah Indonesia di sejumlah kampus, salah satunya Universitas Indonesia di Depok dan Universitas Lambung Mangkurat di Kalsel.

Catatan dari Anggota DPR Bonnie Triyana
Anggota Komisi X DPR Bonnie Triyana mengatakan, penulisan sejarah Indonesia dimulai sejak era kemerdekaan. Ketika itu, pemerintah berusaha mencari formulasi yang tepat agar identitas bangsa ditulis dengan benar.
"Oleh karena itu pada tahun 1957 ada seminar sejarah nasional pertama di Yogya para intelektual, sejarawan negeri, dan cendekiawan berkumpul untuk merumuskan apa sejarah nasional yang yang diharapkan oleh kita waktu itu, untuk meningkatkan identitas kita seperti apa," kata Bonnie dalam diskusi Mencermati Upaya Penulisan Ulang Sejarah Bangsa oleh Negara yang digagas AIPI secara daring, Selasa (29/7).

Pada masa Orde Baru (Orba), terbit buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Namun dalam bab terakhir, memicu kontroversi karena dianggap mengkultuskan Presiden Soeharto.
"(SNI) Kemudian menjadi kontroversi karena ada semacam mengkultuskan individu Soeharto. Kemudian kita punya ide sekarang ada keinginan untuk menulis ulang," ucap Bonnie yang juga dikenal sebagai sejarawan ini.
Politikus PDIP ini sempat mempertanyakan urgensi penulisan ulang sejarah saat rapat kerja bersama Fadli Zon di DPR.

"Saya mengatakan jangan sampai ada tendensi pengingkaran di dalam proyek penulisan ini, khususnya atas beberapa peristiwa-peristiwa pentingnya sepanjang 80 tahun kita merdeka," katanya.
"Jadi kalau misalkan disampaikan sejarah nasional kali ini ditulis dengan menggunakan perspektif Indonesia sentris, sebetulnya itu formulasi yang sudah dimulai sejak 1957 ketika jiwa zaman waktu itu kita membutuhkan satu formulasi narasi sejarah yang bisa membuat kita punya rasa kebangsaan yang sama, dengan latar belakang sejarah yang sama, satu nasib," kata Bonnie.

Bonnie pun sempat menyinggung sedikit soal rezim fasis. Ia mewanti-wanti jangan sampai penulisan ulang sejarah berakhir keliru karena mengikuti keinginan rezim fasis.
"Saya pikir menjadi penting bagi kita semua untuk mempelajari kekeliruan sehingga historiografi yang reflektif, historiografi yang mungkin juga ada keberanian untuk melakukan otokritik, itu jauh lebih berguna bagi kita ketimbang menggelorakan masa lalu kita sebagaimana yang selalu ditunjukkan dalam rezim-rezim yang otoriter dan fasis," ucap Bonnie.

Catatan dari Peter Carey
Dalam forum yang sama, sejarawan Peter Carey mengatakan, jangan sampai penulisan sejarah hanya mengikuti kepentingan kelompok tertentu.
"Kita harus sadar siapa yang menulis sejarah di sini, siapa yang betul-betul penasaran mengenai sejarah," kata Peter.
Peter pun menyinggung sedikit penulisan sejarah saat era Orde Baru. Menurutnya, tidak dapat dipungkiri penulisan sejarah kala itu lebih menonjolkan militer.

"Ini tidak sesuai dengan sejarah nasional, jadi kita harus ingat kepentingan dari penguasa pada saat itu Orde Baru untuk membentuk storyline yang didominasi tentara dan kegiatan militer ini jadi wadah untuk kemerdekaan bukan diplomasi, politisi," kata Carey, pakar sejarah Indonesia, khususnya era Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa.
Lebih jauh, Carey yang berasal dari Inggris ini mengatakan, sejarah sepahit apa pun perlu ditulis sebagaimana mestinya. Jangan sampai ada kebenaran yang ditutupi.
"Tapi ini adalah sebuah realitas. Anda harus menyadari bahwa sejarah ini tidak senang, tidak bersih," kata Carey.
Pernyataan Fadli Zon
Sebelumnya Fadli menilai, penulisan sejarah yang sedang dikerjakan bisa meluruskan sejarah Indonesia saat era penjajahan.
“Kita memang perlu menulis sejarah itu dalam perspektif Indonesia, Indonesia sentris, artinya dari sisi dari kacamata kita bukan dari sisi kolonial dan kita berharap dengan penulisan buku sejarah ini sejarah menjadi lebih relevan,” kata Fadli, doktor Ilmu Sejarah dari UI.

Fadli menilai perlu pemutakhiran sejarah. Kata dia, literasi sejarah saat ini baru ditulis hingga pemerintahan era Presiden B. J. Habibie atau pada 1999.
Fadli menggunakan istilah 'Sejarah Ditulis oleh Pemenang'. Dalam hal ini, pemenang menurut Fadli adalah Bangsa Indonesia itu sendiri.