
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mendorong penguatan kerja sama sistem pembayaran negara-negara BRICS. Hal ini dilakukan sebagai alternatif sistem pembayaran internasional yang sudah ada dan memiliki potensi untuk diperluas.
Juru Bicara Kemlu RI Rolliansyah Soemirat menjawab rencana penguatan kerja sama sistem pembayaran antar negara BRICS usai ditanya mengenai kemungkinan untuk tidak menggunakan Dolar AS dalam melakukan transaksi pembayaran.
“Adapun mengenai detail teknis kerja sama tersebut dapat ditanyakan secara lebih rinci oleh institusi keuangan nasional seperti Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, atau Otoritas Jasa Keuangan,” katanya seperti yang dikutip, Jumat (11/7).
Sebelumnya, bank sentral dan kementerian keuangan negara-negara BRICS sepakat untuk memperkuat kerja sama internasional dengan mendorong sistem perdagangan multilateral yang terbuka, inklusif, dan berbasis pada aturan (rule-based trading system).
Penguatan kerja sama internasional tersebut salah satunya melalui eksplorasi peluang kerja sama lebih lanjut di sejumlah area strategis, termasuk sistem pembayaran, jaring pengaman keuangan internasional (JPKI), pembiayaan berkelanjutan, dan keamanan siber.
Selain itu, BRICS juga mendukung pentingnya penguatan inklusivitas dan representasi negara berkembang dalam tata kelola global, salah satunya melalui penguatan koordinasi kebijakan, serta peningkatan transparansi dan pertukaran informasi antar anggota guna menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Akselerasi Masih Lambat

Sementara itu, mengutip Bloomberg sejauh ini perluasan sistem pembayaran antar anggota BRICS masih lambat. Bahkan, media asal Amerika Serikat itu menilai 'mustahil' untuk bisa mengejar arus perdagangan Dolar AS secara global.
"Ini menjadi peluang yang terlewatkan bagi BRICS, di tengah tekanan yang terus dialami dolar akibat kebijakan Presiden Donald Trump yang tidak menentu," tulis laporan tersebut.
Dolar AS mencatat kinerja awal tahun terburuk sejak 1973 karena perang dagang Trump dan serangannya terhadap sikap Federal Reserve yang enggan menurunkan suku bunga membuat pasar bergejolak.
Kondisi ini memunculkan keraguan atas keunggulan aset-aset AS yang selama ini dominan, dan mendorong investor mencari alternatif. Hal ini justru menjadi berkah bagi pasar negara berkembang, yang diperkirakan akan terus mendapat keuntungan.
Meski semua anggota mendukung gagasan sistem pembayaran lintas negara yang pertama kali disampaikan dalam pernyataan KTT BRICS 2015 aspek teknis integrasinya rumit.
Sistem bank sentral di beberapa negara belum siap, menurut tiga sumber yang mengetahui pembahasan ini. Diperlukan waktu untuk menyesuaikan infrastruktur tersebut, dan hal ini tampaknya belum akan terwujud dalam waktu dekat.
Jalan Terjal

Jalan terjal yang dihadapi oleh negara-negara anggota BRICS untuk menerapkan kerja sama sistem pembayaran antara lain terkait mekanisme pembayaran, jenis mata uang yang digunakan, cara membangun infrastruktur, hingga skema pembagian biaya.
Ada kekhawatiran soal keamanan sistem terintegrasi, menurut dua sumber, seraya menambahkan bahwa perluasan keanggotaan BRICS baru-baru ini juga ikut menyebabkan keterlambatan.
"Fakta bahwa beberapa mata uang negara anggota tidak dapat dikonversi bebas, serta sanksi yang dikenakan terhadap Iran dan Rusia, semakin mempersulit diskusi," kata salah satu sumber yang enggan disebutkan identitasnya.
Sumber lain menambahkan bahwa beberapa negara mungkin menilai biaya untuk membangun dan memelihara sistem tunggal tidak sepadan dengan manfaatnya, terutama jika mereka sudah memiliki sistem perdagangan bilateral yang berjalan.
China, di sisi lain, memanfaatkan kekacauan di AS untuk meluncurkan kampanye besar-besaran mempromosikan peran global yuan.
Dalam pidatonya bulan lalu, Gubernur Bank Sentral Tiongkok, Pan Gongsheng, memaparkan visinya mengenai pasar keuangan yang lebih terbuka dan menjadikan yuan sebagai pusat arus modal dunia.
Beijing juga sedang menjajaki peluncuran kontrak berjangka mata uang domestik pertamanya, yang berpotensi bersaing dengan instrumen lindung nilai serupa di pasar luar negeri seperti Singapura dan Chicago.
Tiongkok juga tengah memperluas sistem pembayarannya sendiri, CIPS, agar mencakup lebih banyak bank asing.