Jakarta, CNBC Indonesia - Isu soal hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang disebut-sebut ditagih royalti musik hanya karena menyediakan fasilitas televisi (TV) di kamar, belakangan ramai di media sosial. Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani ikut angkat bicara.
"Saya masih nunggu konfirmasi dari PHRI di Lombok. Saya juga penasaran, apa segila itu bikin tagihan royalti soal TV," kata Hariyadi saat ditemui usai acara pembukaan Indonesia Shopping Festival (ISF) di Lippo Mall Nusantara, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Saat ditemui, Hariyadi pun langsung mencoba menghubungi pihak PHRI Lombok untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Namun, ia belum mendapatkan kepastian.
"Ini saya nggak dapat konfirmasi. Saya agak takut mengomentari. Karena itu menurut saya sih aneh, ya. Saya kalau ngomong harus konfirmasi benar apa nggak. Itu kan saya hanya melihat di berita, TV dimintakan royalti. Tapi kalau dari aturan itu, nggak benar, nggak ada," ujarnya.
Menurutnya, TV adalah media free-to-air seperti radio, sehingga menjadi tidak masuk akan jika pihak hotel ditagih pembayaran royalti karena menyediakan fasilitas TV di kamar hotelnya.
"Namanya TV itu free-to-air, kayak radio. Jadi, apa yang sudah dikemas, itu dia siarkan ke masyarakat melalui frekuensinya. Radio juga gitu. Nah, jadi, yang membayar itu adalah pihak broadcaster-nya. Kalau kita, harusnya sudah enggak. Nah, tapi saya nggak tahu ya, kalau sampai kejadian gitu," ucap dia.
Hariyadi menilai kabar tersebut kemungkinan besar tidak benar, sama seperti berita viral sebelumnya soal restoran yang disebut menagihkan royalti ke konsumen.
"Rasa saya sih nggak benar kayaknya. Itu mungkin beritanya... Kayak kemarin kan, ada berita di restoran, ada tagihan royaltinya masuk, kan viral kemarin. Itu nggak bener, lah. Nggak ada restoran mencantumkan mengenai royalti di tagihan, itu nggak ada ceritanya. Kayaknya (info itu) editan. Sekarang kan beritanya luar biasa nih, yang dipelintir-pelintir, saya mesti check and recheck," ujarnya.
Meski begitu, ia tetap membuka kemungkinan untuk memverifikasi lebih lanjut.
"Mestinya nggak benar, ya. Mestinya. Tapi saya harus memastikan, ya. Saya nggak tahu. Karena itu rasanya nggak mungkin, kalau kita baca lagi di seluruh regulasi yang ada, itu nggak ada bicara TV kok diminta royalti, memasang TV itu kayaknya nggak ada. Tapi kalau memperdengarkan di ruang publik, itu iya. Tapi kalau TV di kamarnya, itu nggak ada," jelasnya.
Usul Revisi Undang-Undang
Terkait isu royalti yang kerap menimbulkan polemik, PHRI mendorong revisi undang-undang agar tidak terjadi tafsir yang terlalu luas. "Yang kita harus perbaiki itu undang-undangnya. Jadi kalau itu tidak diperbaiki, kita hanya debat kusir saja sama LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional). Jadi itu banyak masalah di dalam undang-undangnya yang memang harus direvisi," kata Hariyadi.
Menurutnya, ada lima hal yang perlu diperbaiki.
Pertama, soal cakupan. "Cakupannya itu apa sih sebetulnya yang terkena dari undang-undang? Ini apa sebenarnya? Jadi kan itu undang-undangnya kan bias. Pokoknya semua yang diperdengarkan, itu adalah harus royalti. Makanya ada aneh-aneh yang burung berkicau disuruh bayar royalti," ucapnya.
Kedua, dari sisi kelembagaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menurutnya perlu ditinjau. "Legal standing-nya gimana? Apakah memang seperti itu? Sekarang dia kan sapu jagat. Menurut pandangan kami, LMKN itu gak perlu ada. Nanti yang ada itu adalah kita sebagai user, pencipta lagu, dan pemerintah sebagai regulator, itu udah cukup," kata Hariyadi.
Ketiga, sistem distribusi royalti harus berbasis digital agar jelas siapa pengguna dan pemilik karya. Keempat, tarif royalti harus diturunkan setelah sistem digital berjalan. Kelima, sanksi pidana untuk pelanggaran royalti dianggapnya tidak adil.
"Masa ya, orang beginian dipidana sih. Ini menurut kita gak adil. Masalah-masalah ini sanksinya adalah perdata. Mana ada sih orang mendengarkan lagu pidana. Ini seharusnya sanksi perdata," tegasnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Booking Hotel Sepi-Okupansi Jeblok Cuma 20%, Pengusaha Curhat Begini