Perceraian adalah putusnya hubungan pernikahan antara suami dan istri yang disebabkan oleh alasan tertentu sehingga pernikahan tidak dapat dilanjutkan. Perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Agama yang merupakan lembaga negara untuk menyelesaikan sengketa hukum. Proses persidangan di Pengadilan Agama membutuhkan kesaksian minimal dua orang saksi.
Saksi dalam perceraian merupakan salah satu alat bukti yang diajukan dalam surat gugatan. Keberadaan saksi dapat menentukan dikabulkan atau tidaknya gugatan tersebut.
Berdasarkan Pasal 145 ayat (1) HIR dan Pasal 172 R.Bg, keluarga sedarah atau keturunan lurus tidak dapat didengar sebagai saksi karena dikhawatirkan sulit memberikan keterangan yang benar-benar objektif, mengingat adanya hubungan kekerabatan dengan pihak yang berperkara. Alasan lain yang dikemukakan adalah kekhawatiran adanya keterangan palsu di persidangan serta untuk menjaga hubungan keluarga antara saksi dengan penggugat maupun tergugat.
Namun, terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang memperbolehkan saksi dari keluarga didengar keterangannya apabila alasan perceraian didasarkan pada syiqaq (pertengkaran yang terjadi terus-menerus antara suami dan istri).
Untuk memperoleh bukti perkara, saksi biasanya berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan pasangan suami istri. Dalam hal ini, anak kandung berusia 21 tahun ke atas dapat dijadikan saksi karena termasuk pihak keluarga atau orang terdekat. Kesaksian anak kandung dapat didengar terhadap kedua orang tuanya. Akan tetapi, meskipun diperbolehkan, hal ini berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan dalam hubungan anak dengan orang tua, karena dapat memicu pertentangan di antara mereka.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, meskipun anak kandung dapat dijadikan saksi, hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai perlindungan anak. Oleh karena itu, sebaiknya hal ini dihindari demi menjaga kondisi psikologis anak, sepanjang masih dapat digunakan alat bukti atau saksi lain. Jika memang diperlukan, sebaiknya kesaksian anak dipisahkan untuk mengurangi potensi konflik dengan kedua orang tuanya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menegaskan bahwa anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi, serta memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan, diskriminasi, maupun pelanggaran hak sipil dan kebebasannya. Oleh karena itu, orang tua wajib memastikan anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial, serta berakhlak mulia.