"Ada pergeseran konsumen lari ke tradisional. Dia lebih percaya tradisional, transparan, terbuka, murah. Kalau premium, Rp 17.000–Rp 18.000 per kg. Di sini harganya Rp 13.000 per kg, udah bagus berasnya," jelas Amran dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (13/8).
Amran menjelaskan, selama ini penyaluran beras dari produsen besar lebih banyak mengalir ke ritel modern, sedangkan penggilingan padi kecil hanya memasok ke pasar tradisional. Namun, penggilingan kecil kerap kalah bersaing dalam mendapatkan gabah karena produsen besar membeli di atas Harga Pokok Penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 6.500 per kg.
"Persoalannya kita mau memihak pada siapa? Yang kecil atau yang besar? Pemerintah menginginkan bagaimana yang kecil ini jangan tertindas penggilingan kecil. Supaya dia ini ekonomi kerakyatan. Kalau yang besar biasanya bermain, harga gabah Rp 6.500 per kg, yang besar langsung membeli Rp 6.700 per kg, Rp 7.000 per kg," jelasnya.
Amran juga menyoroti pelanggaran standar mutu beras premium yang ditemukan pada pasokan ke ritel modern. Dia menegaskan masalah ini bukan sekadar oplosan, melainkan beras yang tidak memenuhi standar premium.
"Standar premium broken-nya 15 persen. Tapi di sini ada tadi sampai 59 persen itu sesuai lab, bukan sesuai Kementerian Pertanian. Kami menggunakan 13 lab. Dan ada sampel kami ambil tadi 10.000, itu broken-nya 33 persen. Dan itu dianggap premium, pelanggarannya di situ," ujarnya.