Segelintir orang di Bumi punya misi besar, mereka mau terbang ke Mars, menjelajahi luar angkasa yang selama ini hanya bisa disaksikan di balik lensa teleskop atau kamera robot antariksa. Namun, seiring ambisi menaklukkan planet merah itu, muncul pertanyaan tentang, bagaimana tubuh manusia menghadapi perjalanan panjang lintas antariksa?
Dengan durasi perjalanan pulang-pergi ke Mars yang bisa memakan waktu bertahun-tahun, peluang seseorang untuk hamil atau bahkan melahirkan selama misi berlangsung bukanlah hal mustahil. Namun, apakah kehamilan bisa terjadi dan berjalan aman di luar angkasa? Dan seperti apa nasib bayi yang lahir jauh dari Bumi?
Risiko yang Dimulai Sejak Awal
Kebanyakan dari kita jarang menyadari betapa rentannya proses awal kehidupan. Faktanya, sekitar dua pertiga embrio manusia gagal bertahan hingga lahir, sebagian besar kegagalan terjadi di minggu-minggu pertama setelah pembuahan, bahkan sering kali terjadi sebelum sang ibu menyadari bahwa dirinya hamil.
Kegagalan ini biasanya disebabkan oleh embrio yang tidak berkembang dengan baik atau gagal menempel di dinding rahim. Kehamilan adalah serangkaian tahapan biologis yang kompleks. Setiap tahap harus berlangsung sesuai urutan dan memiliki tingkat keberhasilan tertentu.
Di Bumi, kita bisa memperkirakan kemungkinan tersebut berdasarkan riset klinis dan model biologi. Namun bagaimana jika tahapan-tahapan ini terjadi dalam kondisi ekstrem di luar angkasa?
Dijelaskan oleh Arun Vivian Holde, Profesor Emeritus Biologi Komputasi di University of Leeds, dalam kondisi mikrogravitasi, seperti yang dialami astronaut di luar angkasa, proses pembuahan mungkin terasa lebih rumit, tapi kemungkinan besar tidak terlalu mengganggu jika embrio berhasil menempel di rahim.
Yang jauh lebih menantang adalah proses persalinan dan merawat bayi baru lahir. Di luar angkasa, tidak ada yang tetap diam. Cairan melayang, begitu juga manusia. Tanpa bantuan gravitasi, proses melahirkan bisa menjadi jauh lebih berantakan dan rumit dibandingkan di Bumi, di mana gravitasi membantu banyak aspek seperti posisi tubuh hingga menyusui.
Meski begitu, janin dalam kandungan sebenarnya sudah terbiasa dengan kondisi mirip mikrogravitasi. Ia mengapung dalam cairan ketuban, terlindung dan tersuspensi. Bahkan astronaut berlatih untuk spacewalk di tangki air yang mensimulasikan kondisi tanpa gravitasi. Dalam konteks ini, rahim bisa dianggap sebagai "simulator mikrogravitasi" alami.
Namun gravitasi bukan satu-satunya tantangan.
Di luar perlindungan atmosfer dan medan magnet Bumi, bahaya lain mengintai, yakni sinar kosmik. Ini adalah partikel berenergi tinggi yang melaju hampir secepat cahaya. Saat menabrak tubuh manusia, partikel ini bisa menyebabkan kerusakan serius pada sel.
Di Bumi, kita dilindungi oleh atmosfer tebal dan medan magnet. Tapi di luar angkasa, lapisan pelindung itu hilang. Ketika sinar kosmik menembus tubuh, mereka bisa menghantam atom, melucuti elektronnya, lalu menghantam inti atom tersebut. Hasilnya? Kerusakan sel yang sangat lokal, bahkan bisa menyebabkan mutasi DNA dan meningkatkan risiko kanker.
“Bahkan jika sel tidak langsung mati, radiasi tetap bisa memicu peradangan berlebihan yang mengganggu fungsi organ,” papar Arun dikutip Science Alert.
Pada tahap awal kehamilan, sel embrio berkembang dengan cepat, bergerak, dan membentuk jaringan serta struktur awal. Agar tetap bisa berkembang dengan baik, embrio harus tetap hidup selama proses perkembangan yang rumit. Bulan pertama pembuahan adalah masa paling rentan.