Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya membeberkan alasannya mengundang Peter Berkowitz menjadi pemateri dalam Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama yang digelar di Jakarta pada Jumat, 15 Agustus 2025 lalu.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Yahya menuturkan peneliti dari The Hoover Institutions University of Stanford dan pro-Zionisme itu diundang untuk menjelaskan secara mendalam mengenai konsep hak asasi manusia. Menurut dia, Peter Berkowitz merupakan salah satu tokoh modern dunia yang memiliki pandangan yang sangat baik mengenai topik tersebut.
"Saya tertarik karena dia profesor hukum di Stanford. Dia pernah jadi pejabat di Kementerian Luar Negeri Amerika dan pernah membangun wacana tentang hak asasi manusia," tutur dia kepada Tempo di rumahnya, Jakarta Selatan, Selasa malam, 26 Agustus 2025.
Pembahasan mengenai hak asasi manusia merupakan satu dari rangkaian workshop yang digelar setiap akhir pekan untuk para elite di NU. Mereka kemudian mengundang para akademisi dari berbagai berbagai belahan dunia untuk menjelaskan satu fenomena global tertentu.
Yahya mengaku tidak mengetahui jika Peter kerap membela gerakan Zionis di Palestina. Selama mengenal Peter hampir lima tahun, kata dia, belum pernah ada pembahasan mengenai hal itu. "Jadi saya mohon maaf sekali kepada masyarakat bahwa saya membuat keputusan tanpa pertimbangan yang teliti dan lengkap terkait Peter Berkowitz ini."
Meski begitu, Yahya memastikan bahwa kedatangan Peter murni untuk menjelaskan soal konsep hak asasi manusia yang sudah dia teliti. Ia menyebut selama diskusi berlangsung tidak ada satu kalimat pun yang menyinggung soal konflik Israel dan Palestina. "Lagi pula tidak mungkin kami mengkampanyekan Zionisme di masyarakat," kata Yahya.
Adapun kehadiran Peter Berkowitz di tengah-tengah para petinggi NU ini sebelumnya menuai banyak kritik dari publik. Sebab, Peter Berkowitz terkenal sebagai akademisi yang cukup vokal membela Zionis.
Berkowitz beberapa kali menerbitkan buku yang mendukung Israel. Dia pernah menulis buku berjudul 'Israel and the Struggle over the International Laws of War (2012)'. Buku ini diterbitkan oleh Hoover Institution Press. Isinya, membela Israel terhadap berbagai kritik hukum internasional—seperti Goldstone Report dan insiden flotila Gaza.