Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong saat keluar dari Rutan Cipinang, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Tom Lembong resmi bebas dari Rutan Cipinang setelah mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto. Tom Lembong disambut para pendukungnya tepat di depan pintu keluar rutan. Pembebasan Tom disambut gembira pendukugnya. Sebelumnya Tom Lembong divonis hukuman penjara 4 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta. Hal itu terkait kasus korupsi pemberian izin impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Oleh : Dr I Wayan Sudirta, SH, MH, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pada 30 Juli 2025 lalu, terdapat sebuah berita yang cukup mengejutkan masyarakat Indonesia. Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti untuk Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyambut hari kemerdekaan 17 Agustus 2025.
Selanjutnya DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R-43/Pres/072025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap Tom Lembong.
Keputusan DPR juga menyetujui pemberian amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto sebagaimana tertuang dalam Surat Presiden Nomor R-42/Pres/072725 tanggal 30 Juli 2025. Pendapat pro dan kontra juga mengemuka.
Pemberlakuan hak prerogatif Presiden ini dinilai sarat dengan kepentingan politik dan mencederai sistem penegakan hukum. Ada juga pendapat yang justru menyanjung Presiden karena telah berjiwa besar dan mendengarkan aspirasi masyarakat luas.
Seperti kita ketahui bersama, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden memiliki sejumlah kewenangan konstitusional, salah satunya adalah hak prerogatif untuk memberikan amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.
BACA JUGA: Saat Pejuang Berjuang dan Rakyat Gaza Dibantai, Abbas Sibuk Bahas Kekuasaan, Hamas Meradang
Dua bentuk pengampunan hukum ini seringkali menjadi perbincangan publik karena menyentuh ranah penegakan hukum dan keadilan. Namun, hak tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan tunduk pada prinsip-prinsip hukum, syarat formil, dan kontrol konstitusional melalui pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lalu seperti apa format hukum yang berlaku dalam peristiwa ini. Menarik tentunya untuk dapat kita kaji atau analisa tentang bagaimana framework yuridis terhadap penggunaan kewenangan atau hak tersebut.