Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memperingatkan risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal hingga 40 ribu pekerja apabila usulan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 45 persen untuk bahan baku asal China diterapkan.
Usulan BMAD ini awalnya muncul dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Mereka mengusulkan pengenaan BMAD hingga 45 persen untuk benang filamen tertentu.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menyebut kebijakan itu berpotensi memukul industri hilir tekstil yang saat ini menyerap puluhan ribu tenaga kerja.
“Ini akan menjadi tragedi nasional. Sedangkan potensi PHK di sektor hulu yang jauh lebih kecil masih bisa dimitigasi melalui optimalisasi serapan lokal,” katanya dalam keterangan resmi, Sabtu (23/8).
Febri menegaskan kebijakan impor maupun proteksi tarif selalu berbasis pada prinsip keadilan antara hulu, intermediate, dan hilir.
Industri hilir yang berorientasi ekspor, kata dia, sudah diberi berbagai kemudahan agar kompetitif di pasar global, sementara pasar domestik diarahkan untuk substitusi impor.
Ia juga menyoroti rendahnya kepatuhan sebagian anggota Asosiasi Produsen Benang Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI) dalam melaporkan aktivitas industri.
Dari 20 anggota, hanya 15 perusahaan yang melapor melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), sementara lima lainnya absen.
Menurutnya, ada kontradiksi karena beberapa anggota APSyFI justru meningkatkan impor hingga 239 persen dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram pada 2024 menjadi 47,88 juta kilogram pada 2025.
“Di satu sisi mereka menuntut proteksi, di sisi lain aktif menjadi importir. Ini melemahkan posisi asosiasi yang mengklaim garda depan tekstil nasional,” ujar Febri.
Kemenperin mencatat pemerintah sebenarnya telah memberikan berbagai instrumen perlindungan, seperti BMAD Polyester Staple Fiber (PSF) hingga 2027, BMAD Spin Drawn Yarn (SDY) sampai 2025, Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) benang serat sintetis sampai 2026, dan BMTP kain hingga 2027.
Sebelumnya, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mengusulkan pengenaan BMAD 5,12–42,3 persen untuk benang filamen tertentu.
Namun usulan itu akhirnya ditolak Menteri Perdagangan Budi Santoso berdasarkan masukan dari Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, Kemenperin, hingga Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).