
YAYASAN Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam keras tindakan represif aparat keamanan dalam penanganan aksi massa yang berlangsung sejak 25 hingga 31 Agustus 2025. Ketua YLBHI Muhammad Isnur menilai, pola kekerasan yang terjadi bukan lagi sebatas pengamanan, melainkan bentuk teror sistematis terhadap warga negara.
Pasalnya sejauh ini, kata Isnur, pihaknya mencatat sebanyak 3.337 orang ditangkap, 1.042 mengalami luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit, serta 10 orang meninggal dunia.
"Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto tengah menyebarkan ketakutan melalui penggunaan kekerasan, kriminalisasi dengan tuduhan makar dan terorisme, hingga pengerahan TNI dalam patroli," kata dia melalui keterangannya, Selasa (2/9).
Isnur mengatakan, perintah Presiden Prabowo untuk melakukan penindakan tegas pada 31 Agustus lalu justru memicu peningkatan represi, yang kemudian diperkuat oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan instruksi tembak di tempat serta dukungan dari Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
“Pernyataan itu menunjukkan keterlibatan tentara secara aktif dalam keamanan dalam negeri, yang jelas bertentangan dengan konstitusi dan amanat Reformasi 1998,” ungkap Isnur.
YLBHI menunjukkan represi terjadi di sedikitnya 20 kota, mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, hingga Samarinda dan Sorong.
Bentuk represi mencakup penangkapan acak terhadap masyarakat sekitar lokasi aksi, pembatasan akses media, pemblokiran konten media sosial, hingga penghalangan bantuan hukum.
Bahkan, sejumlah pengacara publik LBH turut menjadi korban kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang.
“Ini telah melanggar Pasal 28G UUD 1945 yang menjamin setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan,” lanjut Isnur.
Atas situasi tersebut, YLBHI menyatakan delapan sikap. Di antaranya, mengutuk keras kekerasan aparat, menuntut pembebasan massa aksi yang ditahan, mendesak penarikan TNI dari urusan sipil, hingga meminta Kapolri mundur dari jabatannya.
YLBHI juga menuntut lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Ombudsman, dan KPAI untuk segera melakukan penyelidikan independen atas dugaan pelanggaran HAM berat.
“Pemerintah harus segera introspeksi diri dan tidak abai terhadap berbagai tuntutan rakyat yang disuarakan melalui aksi massa,” tutup Isnur. (Far)