
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih menggodok aturan baru mengenai pajak yang berhubungan dengan transaksi kripto.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Bimo Wijayanto mengatakan perubahan aturan dilakukan karena status aset kripto telah berubah. Awalnya kripto dianggap sebagai komoditas, tetapi sekarang sudah digolongkan sebagai instrumen keuangan.
“Dulu kami mengatur kripto itu sebagai bagian dari commodities kemudian ketika dia (kripto) beralih kepada financial instrument, maka aturannya harus kita sesuaikan,” ucap Bimo dalam konferensi pers Peluncuran Piagam Wajib Pajak di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (22/7).
Sebelumnya, dalam aturan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 68/PMK.03/2022 mengatur tentang pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan atas transaksi perdagangan aset kripto.

Aturan tersebut menyatakan bahwa aset kripto yang telah berkembang luas di masyarakat masuk ke dalam kategori komoditi, yang dapat diperdagangkan di pasar berjangka, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan.
Kemudian, penyerahan aset kripto yang merupakan komoditi merupakan objek pajak pertambahan nilai dan penghasilan dari perdagangan aset kripto merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun luar negeri.
Pemerintah menerapkan pajak final terhadap transaksi aset kripto yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,1 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11 persen. Skema tersebut menjadikan Indonesia sebagai Salah satu negara dengan tarif pajak kripto paling rendah di dunia.
Transaksi Kripto Terus Naik
Investor kripto terus naik seiring dengan makin menjajikannya investasi ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan signifikan pada jumlah investor aset kripto di Indonesia. Hingga April 2025, jumlah pengguna kripto tercatat mencapai 14,16 juta orang, naik dibanding Maret 2025 yang sebanyak 13,71 juta.
total transaksi kripto mencapai Rp 109,3 triliun dalam 3 bulan pertama. Angka ini lebih besar dari perputaran uang judol yang dicatat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada kuartal I 2025 sebesar Rp 47 triliun.
Untuk judol, angka perputaran uang juga mengalami penurunan dibanding periode yang sama di tahun 2024 yang sempat tercatat mencapai Rp 90 triliun. Dengan unggulnya angka transaksi kripto dibanding judol, hal ini juga berdampak kepada penerimaan negara. Dari tahun 2022 saat diberlakukannya pajak aset kripto hingga Maret 2025, total penerimaan pajak dari kripto telah mencapai Rp 1,2 triliun.