
Keputusan Presiden AS Donald Trump yang menerapkan tarif 19 persen terhadap barang asal Indonesia dinilai menjadi peluang strategis. Sebab, tarif Indonesia lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya, sehingga dinilai bisa menjadi tujuan investasi relokasi industri, khususnya dari China.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengatakan pemerintah perlu memperhatikan relokasi industri dari China ke Indonesia akibat tarif Trump ini, karena berisiko meningkatkan arus masuk produk China ke pasar domestik.
“kita juga perlu hati-hati kebanjiran produk (China), karena ini kami minta pemerintah untuk siapkan measure untuk antidumping, safe guard. Karena banjir produk ini juga bisa ada dengan tarif Trump ini, tentunya China itu juga harus diperhatikan kondisinya. Belum lagi yang impor ilegal,” ucap Shinta saat ditemui usai acara peluncuran Piagam Wajib Pajak di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Selasa (22/7).
Shinta menjelaskan bahwa beberapa contoh relokasi industri dari China ke Indonesia memang sudah terlihat, seperti di sektor tekstil dan kendaraan listrik.
Dia menyoroti bahwa industri tekstil merupakan salah satu sektor padat karya penting bagi Indonesia, sehingga kehadiran produk tekstil dari China perlu menjadi perhatian.
“Sekarang kalau kita lihat, seperti TPT (tekstil dan produk tekstil China) saja sudah ada yang masuk ke Indonesia. Padahal itu (TPT) jadi salah satu padat karya Indonesia, kita harus perhatikan hal seperti itu,” katanya.
Di sisi lain, Shinta juga mengungkapkan bahwa masuknya industri kendaraan listrik (EV) dari China ke Indonesia dapat memberikan dampak positif, terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja dalam negeri.
“Kita lihat ada EV juga banyak masuk ke Indonesia. Itu positif saja, memberikan lapangan pekerjaan buat pekerja Indonesia. Kami juga sudah bicarakan mengenai pelatihan dan lain-lain,” ucap Shinta.
Lebih lanjut, Shinta menilai bahwa masih ada sejumlah pekerjaan rumah di dalam negeri yang perlu dibenahi, terutama terkait regulasi serta tingginya biaya logistik dan produksi yang dapat menjadi hambatan bagi pelaku usaha dalam mengekspor produk mereka.

Menurutnya, meskipun akses pasar ke AS dengan tarif rendah sangat membantu, pemerintah tetap harus memperbaiki beberapa persoalan domestik.
“PR-PR kita yang ada di dalam negeri seperti dari regulasi, ekonomi biaya tinggi seperti logistic cost, labor cost, ini semua juga masih harus kita perbaiki,” tutur Shinta.
Dalam kesempatan yang berbeda, Shinta menyatakan bahwa masih terdapat ruang untuk Indonesia bisa bernegosiasi untuk mendapatkan tarif lebih rendah lagi. Ia pun membandingkan tarif RI yang jauh lebih rendah dari beberapa negara Asia Tenggara lain.
“Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki ruang untuk menjaga daya saing ekspornya, terutama pada produk ekspor kita seperti tekstil, alas kaki, furniture, hingga perikanan yang memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap pasar Amerika Serikat,” ucap Shinta kepada kumparan, dikutip Selasa (22/7).
Kendati demikian, Shinta menyatakan bahwa beberapa negara pesaing RI saat ini masih dalam proses negosiasi dengan AS, sehingga ia menyarankan agar RI perlu selalu mencermati secara saksama mengenai posisi akhir para negara kompetitor.
Sebab negara kompetitor bisa saja mengubah konstelasi persaingan kawasan dalam waktu dekat. Shinta juga menyatakan bahwa dalam kesepakatan ini, Indonesia berkomitmen meningkatkan impor beberapa komoditas strategis dari AS, yang dianggap dibutuhkan oleh industri dalam negeri.
“Seperti yang sudah kami rekomendasikan sebelumnya kepada pemerintah yaitu mendorong skenario mutually beneficial melalui peningkatan impor komoditas strategis dari AS, seperti kapas, jagung, produk dairy, kedelai, dan crude oil,” kata Shinta.