
Menteri Keuangan Sri Mulyani bakal membayar bunga utang hingga Rp 552,1 triliun sepanjang tahun 2025. Jumlah tersebut mencakup hampir 16 persen dari outlook total belanja negara, menjadikannya salah satu beban fiskal terbesar tahun ini.
Data itu tercantum dalam Laporan Pelaksanaan APBN Semester I 2025, yang mencatat bahwa pada paruh pertama tahun ini, pemerintah telah menggelontorkan Rp 257,08 triliun untuk membayar bunga utang. Angka tersebut setara dengan 46,5 persen dari pagu yang ditetapkan dalam APBN 2025.
Bendahara negara itu menjelaskan, kebutuhan pembayaran bunga utang pada semester II 2025 diperkirakan sebesar Rp 295,05 triliun. Sehingga totalnya akan mendekati penuh dari pagu yang telah dialokasikan.
“Outlook pembayaran bunga utang sampai dengan akhir tahun 2025 sebesar Rp 552.147,9 miliar, atau 99,9 persen dari pagu APBN tahun 2025. Jumlah tersebut terdiri atas pembayaran bunga dalam negeri sebesar Rp 496.986,1 miliar dan bunga utang luar negeri Rp 55.161,8 miliar,” ujar Sri Mulyani dalam laporan tersebut, dikutip Senin (7/7).
Mayoritas pembayaran berasal dari bunga Surat Berharga Negara (SBN) dalam negeri, yakni Rp 235,15 triliun pada semester I, yang mengalami kenaikan 7,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, bunga utang luar negeri sedikit turun, dari Rp 22 triliun menjadi Rp 21,9 triliun.
Sri Mulyani menyebut pagu anggaran untuk bunga utang tahun ini masih mencukupi meskipun tekanan sempat meningkat akibat gejolak nilai tukar rupiah di awal tahun.
“Pagu anggaran bunga utang pada APBN tahun 2025 diproyeksikan masih mencukupi rencana kebutuhan pembayaran bunga utang sampai dengan akhir tahun. Pagu anggaran bunga utang tersebut diharapkan dapat memenuhi baik kebutuhan bunga utang dalam negeri maupun utang luar negeri,” tulisnya.

Ia juga mengingatkan, pemerintah tetap mewaspadai sejumlah risiko yang dapat berdampak pada besaran bunga utang yang harus dibayarkan. Termasuk ketidakpastian global, fragmentasi geopolitik, dan tekanan terhadap kinerja keuangan negara.
Ketidakpastian arah kebijakan suku bunga The Fed, volatilitas nilai tukar akibat geopolitik, dan perlambatan ekonomi global disebut Sri Mulyani sebagai faktor yang dapat memicu naiknya biaya utang Indonesia. Meski begitu, ia mencatat, tren nilai tukar mulai stabil dalam dua bulan terakhir dan pasar memperkirakan suku bunga global akan turun.
Di sisi lain, peningkatan kebutuhan belanja negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi juga disebut berpotensi meningkatkan beban bunga utang, terutama jika penerimaan negara tak tumbuh sesuai target.