
PENGADILAN Tipikor di PN Jakarta Pusat Kelas IA Khusus, Senin (01/09) menggelar sidang dengan agenda pembacaan putusan atas eksepsi yang diajukan oleh pihak terdakwa dalam perkara dugaan korupsi pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Kasus ini menjerat tiga terdakwa dari PT Petro Energy, yakni Newin Nugroho (Direktur Utama), Susy Mira Dewi Sugiarta (Direktur Keuangan), serta Jimmy Masrin (Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy).
Dalam putusan sela-nya, Majelis Hakim menyatakan menolak seluruh eksepsi yang diajukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa II dan III. Majelis menilai alasan eksepsi tersebut tidak dapat dijadikan dasar keberatan karena pokok permasalahan yang disampaikan telah masuk ke ranah pembuktian.
Selain itu, Majelis Hakim menegaskan bahwa nota keberatan yang diajukan, baik oleh Terdakwa II maupun III, tidak dapat diterima dan keberadaannya harus dikesampingkan. Dengan demikian, persidangan akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara guna membuktikan dakwaan hingga putusan akhir.
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuding adanya penyalahgunaan fasilitas kredit oleh PT Petro Energy melalui penggunaan dokumen yang disebut fiktif, serta mengaitkannya dengan dugaan kerugian negara sebesar US$22 juta dan Rp600 miliar.
Namun, konstruksi dakwaan ini telah dipertanyakan oleh penasihat hukum terdakwa, karena dianggap lebih banyak berisi asumsi dan penilaian sepihak yang seharusnya dibuktikan secara objektif di persidangan, bukan dijadikan dasar tuduhan.
SIAP BUKTIKAN
Penasihat Hukum Susy Mira Dewi, Sandra Nangoy, menyayangkan pertimbangan Majelis Hakim namun menegaskan pihaknya tetap akan mengikuti proses persidangan. “Pokok persoalan ada pada klaim kerugian negara. Utang PT Petro Energy sudah dibayar lebih dari 60% dan sisanya masih berjalan lancar, sehingga seharusnya tidak bisa disebut kerugian negara,” katanya.
Sandra menambahkan, permasalahan ini pada dasarnya merupakan hubungan perdata utang-piutang. “Perusahaan memang sempat mengalami kesulitan, sehingga pailit, tapi kemudian utang diambil alih oleh Jimmy Masrin dan kewajiban tetap dijalankan. "Itu yang akan kami buktikan di persidangan,” ujarnya.
Sementara itu, Penasihat Hukum Jimmy Masrin, Soesilo Aribowo, menilai pertimbangan Majelis Hakim tidak sejalan dengan pokok keberatan yang telah diajukan.
“Soal putusan sela, tentu kami kecewa karena eksepsi tidak dikabulkan, padahal keberatan kami jelas menyebut perkara ini seharusnya masuk ranah perdata. Hutangnya masih lancar dan terikat perjanjian, sehingga mestinya diselesaikan melalui mekanisme perdata, bukan pidana. Hakim memang negara, tetapi dengan kondisi ini mestinya putusannya mengarah ke domain perdata. Apalagi KPK memiliki mekanisme pasal 32 untuk menggugat ganti rugi kerugian negara,” tegasnya.
Ia juga menyoroti aspek kewenangan lembaga pengawas yang belum terjawab. “Yang tidak dipertimbangkan itu adalah yurisdiksi OJK. Perkara ini sebenarnya terkait kewenangan pengawasan jasa keuangan sehingga mestinya masuk mekanisme pidana umum, bukan di Pengadilan Tipikor. Kami bahkan mengusulkan agar diberi akses melihat langsung Laporan Hasil Audit (LHA) di luar persidangan, supaya kami bisa memahami secara jelas apa yang sebenarnya ditemukan,” lanjutnya.
Menurut Soesilo, proses pembuktian berikutnya akan menjadi kunci dalam perkara ini, dengan agenda menghadirkan saksi dan ahli. “Saksi yang direncanakan sekitar 50 orang, termasuk ahli. Mudah-mudahan prosesnya bisa berjalan cepat,” tutupnya. (Ant/E-2)