Muliadi Saleh
Teknologi | 2025-09-07 10:52:49
Oleh: Muliadi Saleh
Ada saat-saat tertentu dalam hidup ketika suara alam jauh lebih fasih daripada kata manusia. Suara lenguhan kerbau di sawah, gemericik air irigasi, atau desir angin yang mengusap pucuk padi muda, seringkali lebih menenangkan daripada ribuan pidato pembangunan. Di tengah hiruk-pikuk modernitas, kearifan lokal pertanian tampak seperti bisikan lirih yang hampir tenggelam—namun justru di situlah tersimpan kebijaksanaan yang kita perlukan.
Suatu pagi di pedesaan, embun masih bergelayut di pucuk padi, matahari menguak kabut perlahan, dan seorang petani menuntun kerbaunya ke sawah. Tidak ada deru mesin, tidak ada asap knalpot, hanya kesunyian yang dipenuhi kehidupan. Dengan langkah sabar, kerbau itu menarik bajak, membuka tanah yang lembap, menyiapkan rahim bumi agar sudi melahirkan kehidupan baru.
Pemandangan itu sederhana, namun sarat makna. Para petani pelestari kearifan lokal memilih setia pada cara-cara alami. Mereka membajak sawah dengan kerbau, menanam padi dengan tangan, memupuk dengan kompos dan kotoran ternak. Semua itu bukan sekadar “cara lama” yang romantis, melainkan cara hidup yang menghormati bumi. Tanah tidak dipandang sekadar media produksi, melainkan ibu yang melahirkan kehidupan, yang harus dijaga kesehatannya agar tetap mampu memberi.
Dalam sebuah diskusi dengan seorang petani tua, saya mendengar kisah yang menggetarkan. Ia berkata, hanya pemilik kerbau yang setiap hari memberi makan dan merawatnya, yang bisa menyuruh kerbau itu membajak sawah. Jika orang lain mencoba, kerbau enggan bergerak. Ada ikatan batin yang tumbuh dari kasih sayang, sebuah kesetiaan yang tak bisa dipaksa. Pelajaran sederhana, namun mendalam: kerja sama sejati lahir dari perawatan, bukan sekadar perintah.
Kearifan lokal pertanian menyimpan begitu banyak pesan. Tentang membaca musim, misalnya. Petani tradisional tidak mengandalkan aplikasi digital, melainkan membaca tanda-tanda alam: arah angin, perilaku burung, bahkan perubahan warna langit. Semua itu diwariskan turun-temurun sebagai ilmu kehidupan yang membumi. Tentang memuliakan tanah juga, mereka tidak menjejali bumi dengan pupuk kimia, tetapi memberinya makanan alami. Tanah yang sehat akan melahirkan padi yang sehat, dan pangan yang sehat berarti kehidupan yang lebih baik.
Namun, di era modern, kita sering melupakan wajah asli pertanian ini. Kita lebih sibuk mengejar hasil cepat, mesin besar, atau pupuk instan. Kita lupa bahwa sawah bukan sekadar pabrik beras, melainkan ruang hidup yang menyimpan filosofi. Kita lupa memberi hormat pada petani, padahal dari tangan merekalah makanan kita lahir. Bukankah setiap suapan nasi di meja makan seharusnya membuat kita berterima kasih kepada mereka?
Kerbau dan petani adalah guru yang sabar. Kerbau hanya taat pada tuannya karena ada cinta dalam perawatan. Begitu pula tanah: ia memberi hasil terbaik hanya kepada mereka yang menjaganya dengan penuh hormat. Bila bumi dipaksa, ia akan lelah dan gersang. Bila ia disayangi, ia akan melimpahkan berkah tanpa henti.
Kearifan lokal tidak berarti menolak kemajuan. Ia justru fondasi agar kita tidak kehilangan arah di tengah derasnya teknologi. Membajak sawah dengan kerbau memang tak secepat traktor, tetapi ia menyimpan filosofi tentang kesabaran, harmoni, dan cinta pada kehidupan. Nilai-nilai itulah yang justru paling kita butuhkan di zaman serba instan.
Pada akhirnya, menghargai petani berarti juga menghargai kehidupan kita sendiri. Tanpa mereka, meja makan akan kosong. Tanpa tanah yang subur, tidak ada nasi, buah, atau sayuran yang bisa kita nikmati. Maka, mari belajar dari sawah, dari kerbau, dari petani: bahwa hidup sejati lahir dari kesetiaan, perawatan, dan kebersahajaan.
Dan suatu hari nanti, ketika kita kembali menatap hamparan sawah yang hijau, semoga kita tidak hanya melihat bulir padi yang siap panen. Semoga kita juga melihat jejak kearifan yang diwariskan, yang mengajarkan kita untuk lebih manusiawi, lebih bersahabat dengan alam, dan lebih rendah hati pada tanah yang selalu kita pijak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.