Jakarta, CNBC Indonesia - Warga Rusia, negara eksportir energi terbesar dunia, kini menghadapi ironi. Mengisi penuh tangki bensin makin sulit.
Krisis bahan bakar melanda berbagai wilayah setelah gelombang serangan drone Ukraina dalam beberapa pekan terakhir melumpuhkan sebagian besar kilang minyak, memicu lonjakan harga dan kelangkaan pasokan di dalam negeri.
Sejumlah stasiun pengisian bahan bakar di wilayah timur jauh, selatan Rusia, hingga Semenanjung Krimea dilaporkan kehabisan stok. Para pengendara terpaksa beralih ke bensin dengan kadar oktan lebih tinggi yang jauh lebih mahal karena bensin reguler A-95 semakin langka.
"Kami sudah menunggu berjam-jam, dan tidak ada yang tahu apakah mobil kami benar-benar akan terisi," kata seorang pengendara di Dalnegorsk, wilayah timur jauh Rusia, yang terekam dalam video viral di media sosial, sebagaimana dikutip The Guardian, Kamis (28/8/2025).
Menurut analis energi, serangan udara Ukraina sejak awal Agustus telah menghancurkan sekitar 17% kapasitas kilang minyak Rusia atau setara dengan 1,1 juta barel per hari. Serangan paling anyar dilaporkan mengenai pipa minyak Ryazan-Moskow, salah satu jalur utama pemasok bahan bakar ke ibu kota.
"Serangan ini masif, terkoordinasi, dan berulang. Kilang tidak punya waktu memperbaiki kerusakan sebelum serangan berikutnya datang," ujar Boris Aronstein, analis independen minyak dan gas.
Ia menegaskan bahwa kali ini merupakan krisis BBM paling parah yang dialami Rusia dalam beberapa tahun terakhir.
Harga grosir bensin A-95, bahan bakar yang paling banyak digunakan di Rusia, melonjak hingga 82.300 rubel per ton, hampir 54% lebih tinggi dibanding Januari lalu. Lonjakan ini menambah beban warga di tengah antrian panjang di SPBU.
Sebuah kanal otomotif populer di Telegram, The Motorist's Den, bahkan menyindir, "Rasanya sebentar lagi bensin akan dituang ke gelas sampanye, bukan ke tangki mobil."
Ironisnya, krisis ini terjadi di negara yang dikenal sebagai eksportir energi raksasa, dengan minyak mentah diekspor besar-besaran ke India dan China. Namun, sebagian besar kilang Rusia lebih difokuskan untuk produksi ekspor, sementara pasokan dalam negeri nyaris tidak memiliki cadangan penyangga.
"Produksi domestik hanya cukup menutupi kebutuhan dalam negeri. Begitu ada gangguan, sistem langsung kewalahan," jelas Aronstein.
Kondisi makin sulit karena sanksi Barat memutus akses Rusia terhadap teknologi perbaikan kilang, membuat proses pemulihan infrastruktur energi berjalan lebih lambat. Bahkan sebelum serangan terakhir, pemerintah Rusia sudah memperketat larangan ekspor bensin untuk menahan lonjakan permintaan domestik.
Di Krimea, wilayah yang dianeksasi Rusia pada 2014, dampaknya lebih buruk. Musim panas yang biasanya penuh wisatawan Rusia kini berubah kacau akibat bandara ditutup karena ancaman drone, sehingga arus wisatawan beralih ke jalur darat dan meningkatkan tekanan terhadap pasokan BBM.
Kepala administrasi Krimea yang ditunjuk Kremlin meminta warga bersabar. "Harap dimaklumi pembatasan pada bensin oktan 95. Semua langkah stabilisasi harga sedang dilakukan baik oleh pemerintah federal maupun kami. Situasi ini bisa berlangsung hingga sebulan ke depan," ujarnya.
Meski begitu, para analis menilai krisis bensin ini belum cukup untuk mengguncang upaya perang Rusia.
Sergey Vakulenko, peneliti senior di Carnegie Russia Eurasia Center sekaligus mantan eksekutif Gazprom, mengatakan sebagian besar sektor industri dan militer Rusia masih mengandalkan solar, bukan bensin.
"Masih jauh sebelum sektor transportasi, pertanian, industri-atau yang terpenting, militer-mengalami kekurangan signifikan," jelasnya.
Namun, ia memperingatkan, jika serangan drone berlanjut hingga musim dingin, pemerintah mungkin terpaksa menerapkan sistem penjatahan bensin. "Kalau situasi memburuk, otoritas bisa saja memberlakukan rasionalisasi," kata Vakulenko.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Serangan Besar-besaran Ukraina, Kirim 500 Lebih Drone-Rudal ke Rusia