MENTERI Kebudayaan Fadli Zon mengumumkan perilisan buku penulisan ulang sejarah Indonesia akan mundur dari wacana awal pada 17 Agustus 2025. Rencananya, buku tersebut bakal diterbitkan bertepatan dengan Hari Pahlawan atau pada 10 November. Sebab, Kementerian Kebudayaan tengah melakukan uji publik hingga seminar.
“Kami sudah ada uji publik lalu sekarang ini sedang kami lakukan reading. Mungkin ada dua sampai tiga kali lagi seminar,” kata Fadli Zon usai agenda Zikir Kebangsaan dan Ikrar Bela Negara di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, pada Ahad, 10 Agustus 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pemerintah untuk melakukan penulisan ulang sejarah resmi Indonesia telah disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon beberapa waktu lalu. Target penyelesaian proyek ini dirancang untuk bertepatan dengan peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia ke-80 pada 17 Agustus 2025.
Pembaruan buku sejarah ini akan dilakukan dengan mengedepankan perspektif Indonesia sentris untuk menghapus bias-bias kolonial, mempersatukan bangsa Indonesia, dan menjadikan sejarah relevan bagi generasi muda. Sejarah Indonesia akan ditulis dengan tone positif yang menonjolkan pencapaian, prestasi, dan peristiwa yang membanggakan.
“Kalau mau mencari-cari kesalahan atau mencari-cari hal yang negatif, ya, saya kira itu selalu ada. Jadi yang kita inginkan tone-nya dari sejarah kita itu adalah tone yang positif, dari era Bung Karno sampai era Presiden Jokowi dan seterusnya,” kata Fadli Zon saat ditemui setelah salat Idul Adha di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat, 6 Juni 2025.
Rencana penulisan ulang sejarah dengan tone positif ini kemudian menuai polemik lantaran adanya benturan pendapat. Beberapa pihak khawatir sejarah ditulis berdasarkan kemauan penguasa dan menilai ada upaya pemerintah mengglorifikasi masa lalu. Sementara pemerintah mengatakan sejarah perlu dilakukan penulisan ulang lantaran tidak ingin mencari kesalahan yang pernah terjadi pada masa lalu.
Polemik kian tajam setelah Fadli Zon sebelumnya mengatakan tidak ada bukti pemerkosaan massal pada Kerusuhan Mei 1998. Pernyataan itu disampaikan Fadli Zon dalam wawancara dengan IDN Times yang ditayangkan di YouTube pada 11 Juni 2025. Uni Lubis selaku pemimpin redaksi telah mengizinkan Tempo mengutip pernyataan Fadli Zon dalam video tersebut.
“Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan, ada enggak di dalam buku sejarah itu?” kata Fadli Zon dalam wawancara terkait Kementerian Kebudayaan sedang mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia.
Sederet Polemik Penulisan Ulang Sejarah
Dituding Ada Upaya Glorifikasi Masa Lalu
Penulisan ulang sejarah Indonesia menuai kontroversi di masyarakat, salah satunya dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Ia menilai bahwa penggunaan label “sejarah resmi” dalam proyek ini akan membatasi interpretasi beragam dan dinamis di masyarakat.
Menurut Usman, penulisan ulang sejarah oleh negara berpotensi menjadi alat untuk mengkultuskan individu dan melakukan glorifikasi berlebihan terhadap masa lalu. Kebijakan ini juga berpotensi menghapus peristiwa dan tokoh sejarah yang tidak sesuai dengan kepentingan kekuasaan, sehingga merupakan bentuk manipulasi sejarah.
“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” kata Usman dalam keterangan tertulis Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) pada Senin, 19 Mei 2025.
Usman menyarankan agar pemerintah fokus pada pengungkapan sejarah, bukan penulisan ulang. Tujuannya adalah agar generasi muda dapat belajar dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Penulisan ulang sejarah, kata dia, hanya akan memaksakan satu tafsir tunggal dan mereduksi kebebasan berpikir generasi mendatang.
Dikhawatirkan Ditulis Berdasarkan Keinginan Penguasa
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengkritik proyek penulisan ulang sejarah Indonesia karena khawatir sejarah yang dibentuk sesuai keinginan penguasa, bukan berdasarkan fakta. Ia heran dengan penggunaan istilah “sejarah resmi” dan mempertanyakan kapan pemerintah memiliki kuasa untuk menulis sejarah resmi.
“Sejak kapan pemerintah memiliki kuasa dan kewenangan untuk menulis sejarah resmi, sedangkan versi lain tidak dikatakan resmi,” katanya saat dihubungi Tempo pada Jumat, 23 Mei 2025.
Truman bahkan mengundurkan diri dari Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia pada 22 Januari 2025 karena perbedaan pendapat akademis dengan anggota lainnya. Ia menilai proses penulisan ulang sejarah ini tidak tepat karena outline sudah diberikan tanpa diskusi terlebih dahulu dengan editor yang terdiri dari sejarawan dan prasejarawan.
Ia juga tidak setuju dengan istilah “sejarah awal” pada jilid satu, yang menurutnya seharusnya menggunakan kata “prasejarah”. Truman menekankan bahwa sejarah dimulai setelah adanya tulisan, sehingga periode Hindu-Buddha bukanlah prasejarah. Perbedaan pendapat antara Truman dan tim penulisan ulang sejarah ini menunjukkan bahwa proyek ini masih menuai kontroversi di kalangan akademisi dan sejarawan.
Memutihkan Dosa Pemimpin Masa Lalu
Aliansi Organ 98 menolak penulisan ulang sejarah Indonesia karena dinilai sarat masalah dan kepentingan politik. Mantan aktivis 1998, Pande K. Trimayuni, berpendapat bahwa penulisan sejarah sebaiknya diinisiasi oleh akademisi dan sejarawan, bukan negara. Penulisan ulang sejarah ini cenderung memutihkan dosa masa lalu dan mengabaikan peristiwa penting, seperti pelanggaran HAM dan gerakan perempuan, yang terjadi selama Orde Baru.
“Terlihat dari banyak yang tidak dimunculkan, seperti melihat persoalan yang terjadi di Orde Baru sebagai hal positif saja,” kata Pande dalam konferensi pers di Graha Pena 98, Jakarta, Rabu, 18 Juni 2025.
Pande juga khawatir bahwa pengaburan fakta sejarah ini tidak hanya berdampak pada buku sejarah, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat propaganda negara. Hal ini dapat mempengaruhi kurikulum, film, dan bahkan pengakuan terhadap tokoh-tokoh sejarah. Pande khawatir bahwa penulisan ulang sejarah ini dapat menghilangkan ketokohan dan pelaku sejarah yang tidak sesuai dengan narasi yang diinginkan pemerintah.
Pembengkokan Fakta Masa Lalu
Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, mendesak Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk membatalkan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Menurutnya, proyek ini manipulatif dan berupaya membengkokkan narasi masa lalu. Hendardi menilai bahwa penulisan ulang sejarah semestinya dilakukan oleh kementerian yang mengurusi pendidikan, bukan Kementerian Kebudayaan.
“Pemerintah sebaiknya mengurungkan ambisi untuk merekayasa sejarah perjalanan bangsa secara insinuatif dan tergesa-gesa,” kata dia dalam keterangan tertulis pada Senin, 16 Juni 2025.
Penulisan ulang sejarah memerlukan dialog panjang, matang, mendalam, dan inklusif terhadap fakta yang harus diakomodasi dalam buku pembelajaran. Hendardi juga menekankan bahwa proyek ini harus diiringi dengan itikad baik pemerintah untuk mengungkap kebenaran di balik kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Tanpa penuntasan kasus HAM, Hendardi khawatir bahwa penulisan ulang sejarah akan digunakan kekuasaan untuk merekayasa peristiwa masa lalu. Ia menilai bahwa narasi yang disampaikan oleh Fadli Zon cenderung manipulatif, salah satunya penyangkalan kasus pemerkosaan massal di kerusuhan Mei 1998.
Hendardi meminta Fadli Zon untuk menarik pernyataannya yang menyangkal kasus pemerkosaan massal 1998 dan meminta maaf kepada publik, terutama korban dan keluarga korban. Pernyataan Fadli Zon ini menuai kecaman karena bertentangan dengan bukti-bukti yang ada, seperti pernyataan resmi mantan Presiden BJ Habibie dan laporan TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.