
Indonesia Society of Steel Construction (ISSC) atau Masyarakat Baja Konstruksi Indonesia, mengungkapkan kekhawatiran atas membanjirnya impor baja konstruksi ke pasar domestik.
Kondisi ini dinilai mengancam keberlangsungan industri baja nasional yang selama ini berkomitmen menjaga standar kualitas dan kepatuhan terhadap regulasi pemerintah.
Sejumlah produsen baja mengungkapkan keluhan terkait dampak membanjirnya baja impor, khususnya dari Vietnam dan China. Salah satunya disampaikan Toni, dari PT Garuda Yamato Steel (GYS).
Dia mengatakan pihaknya mendukung pengawasan ketat kualitas baja impor, karena saat ini kondisi di lapangan menunjukkan bahwa produk dari fabrikator luar kerap langsung naik ke proyek besar.
Toni menuturkan bahwa perusahaannya telah mengekspor sekitar 10.000 ton. Baja yang dikirim ke luar negeri pun merupakan produk berkualitas tinggi. Sebaliknya, baja yang masuk ke Indonesia melalui impor saat ini justru tidak semuanya memiliki mutu yang setara.
“Kita ekspor barang-barang yang bagus, tapi barang yang masuk (diimpor) itu rongsokan. Jadi itu kan tragis ya. Kayak (sektor) tekstil juga, kita ekspor baju-baju bagus, tapi kita dimasukkan yang abal-abalan,” lanjut Toni dalam forum FGD ISSC di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Kamis (24/7).
Dia menambahkan, ekspor baja yang dilakukan perusahaannya sejatinya bertujuan menjaga stabilitas dan mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK). Oleh karena itu, ia berharap agar perlindungan bagi produsen dalam negeri lebih diperkuat.
"Tapi harapan kami, (produksi) di dalam negeri ini bisa diproteksi," jelas Toni.
Saran senada disampaikan oleh Stephanus dari perwakilan PT Tata Logam. Ia menilai pengawasan tidak cukup hanya dilakukan oleh satuan tugas (satgas) semata, melainkan perlu ada koordinasi lintas Kementerian/Lembaga (K/L).
"(Saran mengenai satgas) ini perlu diangkat ke Kementerian Koordinator Perekonomian, karena kalau tidak, nanti akan jadi lemparan bola," ucapnya.
Menurut Stephanus, Kementerian Perindustrian, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, hingga Kementerian PU harus bergerak bersama. Dia bahkan menyarankan agar investasi-investasi yang tidak memanfaatkan baja lokal bisa dipikirkan terlebih dahulu.
"Kalau investasi-investasi yang tidak mengutamakan atau tidak menggunakan baja dari Indonesia, ya bisa di-reject saja dulu," ujar dia.
Kekhawatiran atas dominasi produk luar juga dirasakan oleh Rahmat dari PT Kencana. Ia mencontohkan bagaimana sekarang produk baja untuk proyek-proyek besar seperti atap dan girder yang sudah dipaketkan secara langsung dari Vietnam dan China.
“Bahkan sekarang di proyek-proyek besar, ditawarkan atap, mereka sudah satu paket (dengan girder) dari Vietnam atau China. Jadi paket-paket mereka itu masuk sekalian,” katanya.
Rahmat menyatakan, produsen lokal makin tersisih karena produsen luar sudah menyuplai produk secara lengkap hingga tidak membutuhkan fabrikator dalam negeri.
"(Klien) tidak akan nyewa fabrikator (dalam negeri) karena itu," kata dia.
Rahmat juga menyinggung maraknya impor kandang ayam closed house dari baja yang diimpor dari Malaysia dan China, termasuk peralatan hingga struktur bangunannya. Dia menyebut, hal ini memperlihatkan betapa ketergantungan terhadap produk luar sudah meluas.
"Wah ini agak ngeri juga, kan, kandang ayam aja diimpor,” ujarnya.
Dari sisi pengawasan mutu, Vania dari PT Bevananda Mustika, mengingatkan agar penerapan SNI dan TKDN terhadap produk impor baja tidak dikendorkan.
Dia menyebut saat ini setiap produk harus memenuhi standar. Vania juga mengeluhkan soal bahan baku berkualitas seperti continuous galvanic wire yang makin sulit diperoleh.
“Yang (impor) dari China atau Vietnam itu hanya berbentuk (baja yang diproduksi) workshop kecil, tanpa laboratorium in-house. Kualitasnya juga tak ada. Jadi kita sangat amat kesulitan kalau di dalam negerinya ini tidak ada pilihan,” katanya.

Oleh karena itu, perusahaannya berencana membangun pabrik galvanic wire sendiri, meskipun investasi yang dibutuhkan tidak kecil. Ia juga menambahkan bahwa salah satu tantangan terbesar saat ini adalah kurangnya koordinasi lintas kementerian.
"Setiap instansi kadang-kadang punya kepentingan sendiri. Jadi kementerian-kementerian (saat ini) tidak nyambung," ujar Vania.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum ISSC Budi Harta Winata menyebut salah satu pemicu maraknya produk baja konstruksi impor adalah persepsi bahwa produk dari luar negeri lebih murah.
“(Masukan) kita dari para pelaku industri, selama itu bisa diproduksi dalam negeri dan bisa dibuat, kenapa mesti datangkan dari luar? Dan harganya (barang impor) juga nggak lebih murah juga,” kata Toni.
Budi juga menyoroti ketimpangan standar teknis antara produk lokal dan produk impor. Katanya, produksi dalam negeri diwajibkan mematuhi ketentuan SNI tahun 2020, yang secara rinci mengatur spesifikasi struktur bangunan seperti tinggi balok dan kolom.
Kewajiban ini membuat proses produksi di dalam negeri menjadi lebih ketat dan mahal, sementara produk dari luar justru bisa masuk tanpa memenuhi standar serupa.
Dia juga mengibaratkan perbedaan tersebut seperti membuat martabak di Indonesia, regulasinya mewajibkan martabak dibuat dengan tujuh butir telur, sedangkan produk impor hanya menggunakan dua. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja harga produk luar menjadi jauh lebih murah, meskipun spesifikasinya tidak setara.
“Tapi apa pun itu, mestinya apa pun yang bisa diproduksi dalam negeri, mestinya kan (barang impor) nggak boleh masuk juga, karena akan mengganggu rantai pasok dalam negeri,” jelas Budi.