Liputan6.com, Jakarta - Dracula: A Love Tale akan segera tayang di bioskop Indonesia pada 29 Agustus 2025. Diadaptasi dari novel klasik milik Bram Stoker, film romansa cinta pangeran vampir ini dikemas ulang sutradara asal Prancis Luc Besson menjadi lebih dramatis.
Menceritakan Pangeran Vlad II Dracula (Caleb Landry Jones) yang merasa sakit hati mendalam kepada Tuhan akibat istrinya meninggal di tengah perang. Kematian sang pujaan hati, Elisabeta (Zoe Bleu) membuat Dracula membangkang kepada Tuhan dan membenci-Nya seumur hidup.
Akibatnya, Dracula menjadi makhluk abadi. Ia tidak bisa mati. Hanya bisa menambah energi dengan minum darah segar manusia. Dracula hidup bertahun-tahun hingga berabad-abad dengan tetap percaya bahwa jiwa dan hati murni akan membuat kekasihnya bereinkarnasi lalu kembali ke pelukannya.
Inilah review film Dracula: A Love Tale. Film ini menyajikan perjalanan hidup tragis pangeran pengisap darah yang melakukan segala cara untuk mendapatkan kembali sang kekasih, meski dengan mengubah semua orang menjadi vampir.
Alur Penceritaan yang Mengalir
Secara alur, Dracula: A Love Tale mudah diikuti dan tidak bikin bingung sama sekali. Dimulai dengan masa lalu Dracula dan pasangannya yang penuh cinta dan gairah satu sama lain hingga bagaimana putus asanya seorang pangeran kegelapan untuk mendapatkan kembali sang belahan jiwa.
Dendam Dracula terasa kuat sekaligus lemah, tergambar bagaimana dirinya harus bertahan berabad-abad mencari cara untuk kembali ke pelukan kekasih. Penceritaannya tidak terburu-buru, cukup jelas untuk mengerti benang merah satu adegan dengan yang lainnya.
Meski begitu, terlalu banyak repetisi untuk membangun cerita yang solid. Meskipun secara alur baik, tetapi storytelling juga terasa sedikit datar. Untungnya, akting para aktor meyakinkan.
Tidak Ada Aura Pengisap Darah yang Menakutkan
Luc Besson memberi pendekatan berbeda dalam mengemas Dracula: A Love Tale. Sesuai judulnya, Dracula: A Love Tale tak memberikan kesan dan aura menakutkan. Penekananannya bukan membangkitkan kesan ngeri di benak penonton.
Dracula: A Love Tale lebih dominan ke genre romantis dibalut kisah tragis. Karakter pangeran vampir seolah dilemahkan oleh cinta. Tidak ada taring yang membuat bulu kuduk penonton merinding.
Caleb Landry Jones sukses memenuhi visi sang sutradara. Ia menampilkan citra Dracula yang mengekspresikan rasa sedih, patah hati, amarah, juga dendam. Semua emosi menjadi satu.
Teknis Film yang Terasa Nanggung
Bicara soal teknis, Dracula: A Love Tale layaknya film-film lain yang memang berkewajiban menyajikan scene-scene yang nyaman ditonton, baik dari angle hingga color grading untuk setting filmnya cukup rapi.
Alur memang baik dan rapi. Namun, bagi mereka yang datang ke bioskop karena ingin ditakut-takuti, mood dan pembabakan dalam Dracula: A Love Tale tampaknya bakal kurang sesuai ekspektasi.
Terasa Sangat Datar
Tercantum genrenya horor fantasi plus romansa, tapi eksplorasi mendalamnya hanya terasa untuk satu tema: cinta. Kurang adanya rasa tegang dan geregetan dalam perjalanan Dracula mendapatkan Elisabeta di abad ke-19 turut serta membuat cerita ini kurang bergejolak.
Bisa jadi, faktor ini yang membuat Dracula: A Love Tale ditanggapi beragam oleh kritikus. Calon penonton tampaknya perlu mengubah sudut pandang dan ekspektasi terhadap Dracula: A Love Tale. Tidak buruk. Masih asyik dinikmati. Akting pemainnya pun nendang.