
SITUASI Indonesia belakangan ini menimbulkan rasa tidak nyaman bagi masyarakat. Media sosial, maupun media arus utama didominasi berita-berita yang memicu rasa cemas, bahkan mengingatkan pada trauma masa lalu. Psikiater dari Rumah Sakit (RS) Siloam Bogor, dr. Lahargo Kembaren menegaskan bahwa rasa cemas merupakan reaksi emosional yang wajar. Sebab, rasa cemas merupakan respons alami tubuh dan dapat menjadi mekanisme perlindungan.
"Cemas adalah respon alami tubuh terhadap keadaan yang tidak diharapkan dan dianggap bisa menimbulkan bahaya. Reaksi ini justru bisa menjadi mekanisme perlindungan," kata dr. Lahargo, Kamis (4/9).
Namun, Lahargo mengingatkan agar masyarakat waspada jika kecemasan muncul berlebihan hingga menimbulkan gangguan cemas atau ansietas.
Adapun beberapa gejalanya, antara lain khawatir, gelisah, panik, kehilangan kontrol, jantung berdebar kencang, sesak napas, gangguan pencernaan, sakit kepala, pusing, otot tegang dan nyeri, dan gangguan tidur.
"Kalau kecemasan sampai menimbulkan gejala fisik maupun mengganggu kehidupan sehari-hari, itu tanda perlu mendapat penanganan profesional," jelasnya.
Menurut Lahargo, terdapat dua jenis sikap mental dalam menghadapi situasi sulit, pertama adalah reaktif, di mana rasa cemas datang begitu cepat, tegang, dan agresif, sehingga rawan memicu kepanikan.
Kemudian yang kedua adalah responsif. Di mana kondisi ini rasa cemas datang dengan tenang, terukur, dan manusia dapat memberikan respon yang tepat atau mengontrolnya.
"Kalau kita lebih sering reaktif, kehidupan mental kita bisa terganggu. Yang ideal adalah responsif," ujarnya.
Lebih lanjut, selain kecemasan akibat situasi negara, Lahargo juga menyoroti kebiasaan masyarakat yang sering menghabiskan waktu berlebihan di media sosial, atau dikenal dengan istilah doomscrolling.
"Scrolling tanpa henti justru bisa memperburuk kecemasan karena otak kita terus dijejali berita negatif," ucapnya.
Ia pun mengatak bahwa terdapat sejumlah tips untuk menghindari kebiasaan ini, antara lain seperti menyadari pola dan pemicu doomscrolling, membatasi waktu menggunakan media sosial, cek fakta sebelum bereaksi, membuat jeda fisik dari ponsel, mengisi pikiran dengan hal-hal positif, dan tidak memberi ‘makan’ algoritma dengan klik konten provokatif
"Algoritma media sosial memang dirancang membuat kita betah, bahkan kalut. Karena itu kita yang harus pegang kendali, bukan algoritma," tuturnya.
Jika kecemasan semakin berat, Lahargo menyarankan segera berkonsultasi dengan tenaga kesehatan jiwa. Ia pun juga mengimbau agar tidak menunda-nunda pemeriksaan karena dapat membuat kesehatan mental terganggu dan semakin parah.
"Bisa ke psikiater, psikolog, perawat jiwa, dokter umum yang terlatih, atau konselor. Jangan menunda, karena gangguan cemas bisa ditangani," pungkasnya. (H-4)