
KPK telah menetapkan delapan orang tersangka di dalam kasus dugaan korupsi pemerasan tenaga kerja asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Empat di antaranya merupakan mantan pejabat tinggi, yakni Dirjen dan Direktur.
Mereka adalah sebagai berikut:
Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemnaker tahun 2020–2023, Suhartono;
Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) tahun 2019–2024 dan Dirjen Binapenta dan PKK Kemnaker 2024–2025, Haryanto;
Direktur PPTKA tahun 2017–2019, Wisnu Pramono; dan
Direktur PPTKA tahun 2024–2025, Devi Anggraeni.
Berikut adalah profil singkat dan laporan kekayaan mereka:
Suhartono

Sebelum menjadi Dirjen Binapenta, Suhartono sudah menjabat sejumlah jabatan di Kemnaker. Sejumlah posisi pernah didudukinya. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan di Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kemnaker.
Kemudian, dia menjabat Staf Ahli Bidang Kerja Sama Internasional di Sekretariat Jenderal Kemnaker. Ia pun diangkat menjadi Direktur di Ditjen Binapenta hingga akhirnya menjadi Dirjen Binapenta.
Suhartono terakhir kali melaporkan kekayaannya di LHKPN pada Desember 2022. Di situ disebutkan, ia memiliki kekayaan sebesar Rp 2.767.868.000.
Ia memiliki sejumlah tanah dan bangunan di Depok, Bogor, dan Cilacap dengan total nilai sebesar Rp 2.729.718.000. Ia juga memiliki 3 kendaraan yang meliputi Honda Vario, mobil Nissan Juke, sebuah sepeda motor Yamaha. Total nilai kendaraannya adalah Rp 93.000.000.
Disebutkan pula di dalam LHKPN Suhartono, ia memiliki utang sebesar Rp 95.800.000.
Haryanto

Haryanto merupakan Dirjen Binapenta penerus Suhartono. Sebelum menjabat Dirjen, ia juga sudah mengisi beberapa jabatan di Kemnaker.
Sebelum menjadi Dirjen, ia merupakan bawahan Suhartono. Sejak 2019-2023, ia menjabat Direktur Bina Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Dirjen Binapenta.
Haryanto terakhir melaporkan kekayaannya di LHKPN pada Desember 2024. Total kekayaannya adalah Rp 2.290.898.318.
Ia memiliki tiga tanah dan bangunan di wilayah Depok. Total nilainya adalah Rp 1.206.000.000.
Dilaporkan pula bahwa dia memiliki 4 kendaraan yang meliputi motor Honda X1B02R0710 A/T2, Vespa Primavera, mobil Yaris, dan Avanza. Total nilainya adalah Rp 226.000.000.
Wisnu Pramono
Setelah menjabat Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) di Dirjen Binapenta, Wisnu menjabat sebagai Inspektur II di Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemnaker. Bila merujuk pada LHKPN, ia menjabat Inspektur II sejak 2019-2020.
Laporan kekayaan Wisnu terakhir kali masuk LHKPN pada Desember 2020. Disebutkan bahwa kekayaan Wisnu adalah Rp. 24.101.669.270.
Ia memiliki 9 tanah dan bangunan di Jakarta, Bekasi, Wonogiri, dan Surakarta. Total nilainya adalah Rp 17.287.459.000. Namun, hanya 3 dari 9 yang merupakan hasil sendiri.
Ada 7 kendaraan yang dilaporkannya. Ada mobil Holden Gemini Sedan, Suzuki Karimun Estilo Mini Bus, Toyota Fortuner Jeep, Mitsubishi Pajero, 2 motor Honda, dan sebuah Vespa Primavera. Totalnya adalah Rp 495.000.000.
Devi Anggraeni
Tak banyak yang bisa ditemukan dari nama Devi Anggraeni. Namun, ia pernah menjabat sebagai Kasubdit Analisis dan Perizinan Tenaga Kerja Asing Sektor Industri di Kemnaker.
Tepat sebelum menjadi Direktur PPTKA, Devi pernah menjabat sebagai Koordinator Uji Kelayakan dan Pengesahan RPTKA Kemnaker.
Nama Devi Anggraeni tak ditemukan di laman LHKPN KPK.
Kasus Korupsi Pemerasan TKA

Selain keempat orang tersebut, ada empat orang lainnya yang juga dijerat sebagai tersangka oleh KPK. Mereka yakni:
Koordinator Analisis dan PPTKA tahun 2021–2025, Gatot Widiartono;
Petugas Hotline RPTKA 2019–2024 dan Verifikator Pengesahan RPTKA pada Direktorat PPTKA 2024–2025, Putri Citra Wahyoe;
Analis TU Direktorat PPTKA tahun 2019–2024 yang juga Pengantar Kerja Ahli Pertama Direktorat PPTKA tahun 2024–2025, Jamal Shodiqin; dan
Pengantar Kerja Ahli Muda Kemnaker tahun 2018–2025, Alfa Eshad.
Dalam kasus ini, total delapan orang tersangka itu diduga meminta sejumlah uang kepada para agen penyalur calon TKA. Permintaan uang itu agar izin kerja calon TKA bisa diterbitkan.
Total, dari 2019, para tersangka telah meraup uang hingga Rp 53,7 miliar. Uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi mereka dan juga dibagi kepada sejumlah pegawai di Kemnaker.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 e atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor.