REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Timur mengecam tindakan represif aparat kepolisian dalam penanganan aksi massa yang berujung pada tewasnya seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, di Jakarta. Affan meninggal dunia setelah dilindas kendaraan taktis (rantis) milik Brimob.
Insiden tersebut dinilai menambah catatan kelam brutalitas aparat terhadap warga sipil. Ketua PKC PMII Jawa Timur, Mohammad Ivan Akiedo Zawa, menegaskan bahwa tindakan aparat tersebut merupakan bentuk kegagalan dalam menjaga hak-hak sipil.
“Setiap darah yang tumpah, adalah kegagalan mereka menjaga amanah. Polisi Indonesia itu brutal, maka kita harus mereformasi total,” tegas Akiedo Zawa dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Jumat (29/8/2025).
Dalam salah satu tuntutannya, PKC PMII Jatim meminta polisi 'mengandangkan' rantis. Kendaraan khusus tersebut dirancang bukan untuk membubarkan aksi massa. "Moratorium penggunaan kendaraan taktis dalam pembubaran massa, sampai SOP crowd control direvisi sesuai standar HAM internasional," ujar Akeido.
PKC PMII Jawa Timur menilai, meski Polri baru saja merayakan Hari Bhayangkara ke-79 dengan tema 'Polri untuk Masyarakat' pada 1 Juli 2025 lalu, realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Ia menyebutkan bahwa berdasarkan data KontraS, mereka menyebut sepanjang setahun terakhir terjadi 411 peristiwa penembakan, 89 pelanggaran kebebasan sipil, 42 pembubaran paksa aksi unjuk rasa, 10 orang meninggal dunia, 76 luka-luka, 40 korban pembunuhan di luar hukum, 43 salah tangkap, 62 penangkapan aktivis/pembela HAM, serta 1.020 orang sipil menjadi korban pelanggaran hak.
“Darah rakyat tidak boleh tumpah sia-sia akibat kebrutalan aparat negara. Insiden pada 28 Agustus 2025 menjadi alarm keras bahwa reformasi Polri untuk menjamin hak-hak sipil bersifat mendesak dan tidak bisa ditunda,” ujar Akiedo.
Lebih lanjut, PKC PMII Jawa Timur menilai pengawasan terhadap kewenangan kepolisian tidak berjalan efektif. Akiedo menyebut budaya permisif terhadap kekerasan masih hidup di tubuh Polri, bahkan warisan gaya kerja Orde Baru masih melekat.
Organisasi mahasiswa ini juga menyampaikan enam tuntutan, di antaranya:
1. Insiden kasus Affan Kurniawan menuntut semua oknum anggota dan atasan kepolisian bertanggung jawab dengan diadili secara transparan, dan tidak berhenti pada etik.
2. Beri perlindungan dan kompensasi bagi keluarga korban, negara wajib hadir dan menjamin keadilan hukum.
3. Moratorium penggunaan kendaraan taktis dalam pembubaran massa, sampai SOP crowd control direvisi sesuai standar HAM internasional.
4. Reformasi institusi Polri dari budaya permisif terhadap kekerasan yang cenderung melindungi anggota kepolisian yang melanggar etik.
5. Mengecam keras segala bentuk intimidasi dan intervensi brutal oleh aparat kepolisian dalam mengendalikan aksi massa saat undang-undang menjamin kebebasan berekspresi dan menyuarakan hak di muka umum.
6. PKC PMII Jawa Timur akan mengawal secara melekat isu-isu keadilan dan penegakan hukum yang menyangkut aktivis dan sipil untuk mendorong reformasi Polri dari mental kesewenang-wenangan dan brutal.
"Tanpa langkah tegas, tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu serta giliran bagi siapa pun yang berani menyuarakan hak berpendapat di muka umum yang dilindungi konstitusi," kata Akeido.