
PT Pertamina (Persero) menunggu regulasi untuk bisa mengeksekusi impor minyak mentah dari Amerika Serikat (AS), yang merupakan salah satu hasil kesepakatan perdagangan dengan AS untuk menurunkan tarif impor resiprokal.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan telah mencapai kesepakatan dagang dengan Indonesia, sehingga menurunkan tarif impor terhadap barang Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen, dan akan berlaku mulai 1 Agustus 2025.
Sebagai bagian dari kesepakatan ini, Indonesia telah berkomitmen untuk membeli USD 15 miliar dalam bentuk impor barang energi dari AS, USD 4,5 miliar dalam impor produk pertanian Amerika, dan pembelian 50 pesawat Boeing, banyak di antaranya tipe 777.
VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan pemerintah sudah menjalin kerja sama berupa nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan beberapa mitra terkait pengadaan minyak mentah (crude).
"Pertamina juga merupakan bagian dari proposal yang disampaikan oleh kita Indonesia ke Amerika Serikat. Memang kita sudah melakukan kerja sama bersifat MoU, dengan beberapa mitra kami di Amerika Serikat," katanya ketika ditemui di Jakarta, Kamis (17/7).
Untuk mengeksekusi MoU tersebut, kata Fadjar, Pertamina membutuhkan regulasi sebagai landasann hukum bahwa perusahaan bisa melakukan pengadaan minyak mentah dari AS.
"Untuk melakukan itu kita perlu dukungan regulasi dari pemerintah, untuk menjustifikasi bahwa kita bisa melakukan pengadaan dari sana," tegas Fadjar.

Fadjar menyebutkan, MoU tersebut baru mencakup optimalisasi untuk kerja sama pengadaan minyak mentah, belum termasuk pengadaan produk liquified petroleum gas (LPG) yang sebenarnya sudah dibahas selama negosiasi tarif.
Dia mencatat, impor LPG dari AS berkontribusi pada 57 persen dari total impor LPG oleh Pertamina pada tahun 2024. Rencananya, porsi impor dari AS ini akan ditambah menjadi sekitar 60 persen.
"Porsi impor LPG dari Amerika Serikat kita sudah cukup besar ya, 57 persen dan memang ada penjajakan untuk peningkatan ke 60 persen, itu akan kita jajaki juga," jelas Fadjar.
Meski demikian, Fadjar tidak bisa menjelaskan berapa besar volume impor minyak mentah dari AS serta nama perusahaan yang dimaksud. Pengadaan ini bersifat bertahap dan fleksibel sesuai dengan kemampuan negara dan perusahaan.
"Volumenya dalam tahap negosiasi dan nantikan akan bertahap setiap bulan dan MoU-nya juga masih terbuka sifatnya, jadi nanti akan terlihat kebutuhan, kemudian kapasitas fiskal kita juga, dan kesiapan kilang-kilang kita juga nanti untuk menampung," kata dia.