
Manusia bisa salah menilai sesamanya, tapi anehnya, kita sering kali justru paling tegas dan kejam saat yang kita nilai adalah anak-anak. Barangkali karena kita terbiasa melihat mereka sebagai lembar kosong, sehingga merasa berhak mencoret apa pun di sana—termasuk cacian, sindiran, dan pembelajaran palsu yang terlalu dini.
Beberapa hari lalu, internet memperlihatkan satu hal yang sudah terlalu sering terjadi: seorang bocah diseret ke tengah gelanggang orang dewasa dan dijadikan bahan amukan massal. Namanya Ryu Kintaro. Dia masih bocah SD, tapi penghasilannya sudah melampaui orang dewasa yang kerja lembur tiga shift. Lalu, dia mengatakan sesuatu yang membuat banyak orang dewasa mendadak merasa lebih tahu hidup:
Jadi perintis itu lebih seru daripada jadi pewaris.”Kalimat itu kemudian jadi bahan bakar unggahan demi unggahan, ditertawakan, dimaki, dibantah, dikutuk. Seolah kalimat itu adalah kesimpulan hidup seorang filsuf tua, bukan pernyataan polos dari seorang anak yang bahkan belum selesai belajar tentang patah hati pertama.
Orang-orang lupa bahwa Ryu adalah anak-anak. Lupa bahwa anak-anak bisa bicara dengan keyakinan utuh tanpa harus benar. Lupa bahwa masa kecil adalah masa yang memang seharusnya dipenuhi pernyataan sembrono, asal-asalan, dan penuh semangat yang kadang tak masuk akal. Kita tidak sedang bicara tentang pemimpin negara atau tokoh agama. Kita sedang bicara tentang bocah sembilan tahun yang sedang belajar menyusun kalimat.
Anak-anak tidak lahir untuk segera mengerti segalanya. Mereka tumbuh pelan-pelan, dengan ritme mereka sendiri. Tapi sering kali, orang dewasa terlalu terburu-buru. Kita ingin mereka cepat paham, cepat dewasa, cepat bisa menanggapi dunia seperti kita—padahal bahkan kita sendiri belum tentu benar-benar paham.
Sayangnya, internet tidak mengenal pelan-pelan. Di sana, semua orang bicara secepat mungkin, sekeras mungkin. Tak peduli siapa yang ada di seberangnya—anak-anak sekalipun.

Mungkin Ryu memang tidak benar-benar “perintis” dalam arti yang umum. Ia tidak merangkak dari bawah, tidak berjualan dengan keringat sendiri tanpa sokongan keluarga. Ia lahir dalam keluarga yang mampu. Bahkan, video-video lamanya menunjukkan betapa nyaman hidupnya. Tapi mengapa kita merasa perlu menyodorkan penghakiman itu di depan wajahnya?
Apakah karena kita merasa harus menyelamatkan makna perintis dari tangan seorang anak? Atau sebenarnya, kita sedang melampiaskan rasa iri kita sendiri?
Orang dewasa punya banyak kegagalan. Beberapa merasa terlambat memulai, beberapa merasa gagal membahagiakan orang tua. Ketika melihat anak kecil yang seolah sudah “jadi,” naluri kita tidak murni mengarah ke kekaguman. Ada bagian dari hati yang mulai membandingkan dan menggugat: kenapa dia bisa, sedangkan saya tidak?
Anak-anak tidak pernah meminta untuk lahir sebagai pewaris. Mereka tidak memilih orang tua, latar belakang, ataupun harta yang tersedia di sekelilingnya. Sama seperti anak-anak dari keluarga sederhana tidak pernah memilih untuk berjuang dari nol. Dunia memberi masing-masing dengan tak adil sejak awal, dan itu bukan kesalahan siapa-siapa.
Ryu memang terlihat sok tahu. Tapi bukankah itu justru khas anak-anak? Bukankah sebagian besar dari kita pernah merasa sudah memahami dunia pada usia remaja, padahal belum tahu apa-apa? Sebagian orang menyebutnya kebodohan. Sebagian lain menyebutnya harapan yang polos.
Ketika seorang anak menyebut hidup sebagai perintis itu lebih seru, ia tidak sedang membuat thesis. Ia hanya sedang meniru cara bicara motivator dewasa yang sudah terlalu sering tampil di YouTube. Ia mencoba bicara besar, karena begitulah yang sering ia lihat. Dunia orang dewasa telah lama menjadi panggung sandiwara inspirasi yang kerap mengabaikan fakta. Anak-anak seperti Ryu hanya menirukan sandiwara itu. Lalu, ketika mereka mulai memainkan peran yang sama, kita tiba-tiba tak terima.
Barangkali yang perlu dipertanyakan bukan anaknya, melainkan dunia orang dewasa yang ia tiru.
Ada satu hal yang tidak bisa dibantah: bahwa anak-anak seharusnya dibiarkan tumbuh, bukan dijatuhi harapan atau hukuman terlalu dini. Mereka berhak mencoba, gagal, lalu mencoba lagi tanpa perlu takut dipermalukan massal. Mereka bukan panutan, bukan pula musuh. Mereka hanya sedang tumbuh—dan tidak ada yang lebih wajar daripada itu.