
Suasana khidmat menyelimuti ruang ibadah GKJ Gondokusuman pada Minggu, 8 Juni 2025. Warna merah mendominasi altar dan atribut liturgi, simbol lidah-lidah api yang menyala di hari Pentakosta. Bagi umat Kristen, inilah salah satu momen paling penting dalam kalender gerejawi—hari ketika janji Tuhan Yesus tentang Sang Penolong, Roh Kudus, digenapi.
“Sepuluh hari setelah kenaikan Tuhan Yesus, Roh Kudus turun dalam rupa lidah-lidah api atas murid-murid yang sedang berkumpul. Peristiwa itu memampukan mereka untuk bersaksi, dari yang semula takut menjadi berani,” terang Pendeta Yudo Aster Daniel kepada Pandangan Jogja, usai memimpin ibadah yang dimulai pukul 09.00 WIB, Minggu (8/5).
Pentakosta berasal dari kata Yunani pentēkostē, yang berarti "hari kelima puluh." Dalam tradisi Kristen, Pentakosta dirayakan tepat 50 hari setelah Paskah yang memperingati kebangkitan Yesus Kristus. Secara historis, Pentakosta bertepatan dengan Hari Raya Tujuh Minggu atau Shavuot dalam tradisi Yahudi, yakni hari syukur panen dan pewartaan Taurat.

Kala itu, Yerusalem dipenuhi orang Yahudi dari berbagai wilayah dengan bahasa yang berbeda-beda—Arab, Mesir, Asia Kecil. Di tengah keramaian itu, Roh Kudus turun atas para murid. “Mereka jadi bisa berbahasa lain, dan bisa saling mengerti dengan mudah,” jelas Pendeta Yudo. Inilah titik balik besar: Injil yang sebelumnya terbatas pada komunitas kecil mulai meluas secara lintas bahasa dan budaya.
Momen ini tak hanya menjadi tanda kehadiran ilahi, tetapi juga titik mula pewartaan terbuka. Para murid yang sebelumnya bersembunyi karena takut terhadap otoritas Romawi dan Yahudi kini muncul ke ruang publik. Dengan kuasa Roh Kudus, mereka bersaksi tentang kasih dan karya penebusan Yesus Kristus.
Roh Kudus sebagai Sang Penolong

Tema ibadah Pentakosta di GKJ Gondokusuman tahun ini adalah “Juru Pitulung”, istilah Bahasa Jawa untuk “Sang Penolong.” Makna ini merujuk langsung pada janji Yesus dalam Yohanes 14:16—bahwa Ia akan mengutus Penolong lain, yaitu Roh Kudus, untuk menyertai umat sampai selama-lamanya.
“Roh Kudus hadir bukan hanya di masa para rasul, tapi juga hari ini, dalam kehidupan setiap orang percaya. Ia menolong, menguatkan, dan memberi penghiburan,” kata Pendeta Yudo.
Dalam konteks kehidupan modern yang penuh tekanan—pekerjaan, keluarga, relasi sosial, bahkan krisis eksistensial—Roh Kudus menjadi kekuatan batin yang tak terlihat namun nyata.
Seorang jemaat yang mendengarkan kotbah pagi itu mencatat, "Saya merasa dibesarkan hatinya. Saya tahu saya nggak sendiri."
"Selamat Pantekosta, selamat Pantekosta," begitu ibadah selesai, ratusan jamaah yang memadati GKJ Gondokusuman pagi itu saling bersalaman, berciuman pipi bagi ibu-ibu, dan saling mengucapkan selamat.
Persembahan Unduh-Unduh, Dekorasi Berbahan Sayur Mayur

Pentakosta di GKJ Gondokusuman juga diwarnai dengan perayaan undhuh-undhuh, sebuah bentuk persembahan syukur atas hasil bumi atau hasil kerja. Tradisi ini memiliki akar dalam kehidupan agraris masyarakat Yahudi kuno, yang membawa hasil panen ke Bait Allah sebagai bentuk syukur kepada Tuhan.
Malam sebelumnya, mulai Sabtu (7/6) siang hingga dini hari bahkan beberapa di antaranya tidak tidur, puluhan jemaat GKJ Gondokusuman sibuk mempersiapkan dekorasi Hari Raya Pentakosta dan juga gunungan Undhuh-Undhuh yang dipasang di samping mimbar liturgi.
Di seksi dekorasi, malam itu Pandangan Jogja menyaksikan langsung Bu Wiwik dan Bu Inti yang sedang membuat aneka hiasan yang akan dipajang di mimbar dekorasi.
Selama ini keduanya, dan beberapa jemaat lain, memang rutin bertugas menata bunga di mimbar utama GKJ Gondokusuman. Mereka adalah bagian dari tim dekorasi liturgi—pelayan yang menjaga keindahan ruang ibadah. Namun pada perayaan Pentakosta dan unduh-unduh kali ini, nuansa berbeda terasa.
“Biasanya kami pakai bunga dan daun biasa. Tapi khusus hari ini, semua pakai sayur dan buah. Harus hasil bumi, enggak boleh imitasi,” ujar Bu Wiwik sambil mengukir wortel.

Warna-warni sayur dan buah tertata membentuk pola estetis yang menyatu dengan simbol-simbol iman. Di antara susunan daun hijau, terlihat wortel, pare, sawi putih, kacang panjang, terong, gambas, hingga pisang. Ada pula peacock—sayuran khas yang menjadi titik fokus di bagian tengah mimbar. Semua bahan disusun di atas wadah buatan, satu-satunya elemen yang tidak organik.
“Ini jadi bentuk persembahan juga. Apa yang kita punya, kita hadirkan untuk Tuhan,” tambah Bu Inti.

Dekorasi mimbar bukan hanya soal keindahan visual. Dalam tradisi Pentakosta, kehadiran hasil bumi di altar melambangkan ucapan syukur umat atas berkat yang diterima sepanjang hidup. Melalui tangan jemaat yang tekun menata satu per satu elemen, kehadiran Roh Kudus dirayakan secara kasat mata—lewat warna, tekstur, dan kerja kolektif yang penuh cinta.

Di ruang serba guna, puluhan jemaat lain, malam itu bergotong-royong menghias dua gunungan. Satu gunungan khusus untuk Undhuh-undhuh Gereja dan satu gunungan lain yang akan diikutkan dalam Kirab Gunungan Undhuh-undhuh Kampung Klitren.
Dipimpin oleh Pak Agung Miyarta, mereka merancang susunan sayur dan buah dengan penuh perhatian dan ketelitian. Di bagian dasar, kacang panjang disusun sebagai latar belakang. Naik ke bagian atas, barisan jagung, cabe merah, daun bawang, selada, timun, jeruk purut dan salak menghiasi struktur gunungan dengan warna yang kontras dan segar. Bagian paling atas dipasang buah nanas.
"Satu gunungan, untuk tiap buah dan tiap sayur, kira-kira dibutuhkan 5 kilogram," kata Pak Agung.

Gunungan ini esok hari, usai ibadah terakhir Pentakosta pada Minggu (8/6) malam akan dibagikan kepada jemaat. Namun sebelum itu, ia berdiri di depan ruang ibadah di sebelah mimbar liturgi sebagai simbol utama persembahan umat: bahwa dari hasil tanah, kerja, dan kebersamaan, umat membawa kembali kepada Tuhan apa yang terbaik dari hidup mereka.
Sabtu (7/6) malam itu, di sisi depan pojok utara GKJ Gondokusuman, puluhan jemaat lain menata meja bazaar yang berisi aneka sayuran, buah-buahan, dan aneka kebutuhan sehari-hari yang dibawa jemaat langsung dari rumah masing-masing. Semua ini dijual selama hari Pentakosta esok hari. Dan hasil penjualannya akan masuk kas gereja.

"Biasanya juga ada lele, ayam, macam-macam sesuai dengan pekerjaan masing-masing jemaat. Kalau dulu persembahannya harus dalam bentuk hasil bumi atau ternak, sekarang bisa juga uang hasil dari produksi jemaat sehari-hari tergantung produksi atau kerja mereka apa. Intinya bukan bentuknya, tapi kesadaran bahwa berkat itu berasal dari Tuhan,” ujar Pendeta Yudo.
Lima Kali Ibadah, Ribuan Jemaat Menghidupi Pentakosta

Hari itu, GKJ Gondokusuman menggelar lima kali ibadah dari pagi hingga sore hari, masing-masing dengan karakteristik jemaat yang berbeda. Dalam tiap sesi ibadah, ruang gereja penuh terisi oleh ratusan jemaat, sehingga dalam 5 sesi diperkirakan hingga 2.000-an jemaat mengikuti ibadah Pen...