
KEPUTUSAN sejumlah partai politik menonaktifkan anggotanya di DPR RI yang bermasalah, dinilai hanya sebagai langkah meredam kemarahan publik. Kebijakan ini dianggap tidak menyentuh akar persoalan utama, yakni minimnya akuntabilitas pejabat publik dan ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja wakilnya di parlemen.
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Nanik Prasetyoningsih mengatakan bahwa penonaktifan anggota dewan tidak akan menyelesaikan persoalan mendasar. Menurutnya, problem yang terjadi saat ini jauh lebih kompleks daripada sekadar menonaktifkan individu.
“Masalah Indonesia itu bukan sesederhana menonaktifkan anggota dewan. Akar persoalannya meliputi kesenjangan sosial, fenomena oligarki politik, dan sikap anti-kritik yang semakin menguat di kalangan elite. Rakyat menginginkan wakil yang lebih responsif, visioner, dan punya empati,” ujar Nanik dalam keterangannya pada Jumat (5/9).
Nanik menilai penonaktifan tersebut hanyalah upaya sementara untuk meredam gejolak, tetapi tidak menjawab masalah fundamental yang sedang dihadapi bangsa.
“Langkah ini hanya menekan kemarahan sesaat, bukan solusi jangka panjang bagi demokrasi kita,” ujarnya.
Menurutnya, langkah nonaktif yang diambil partai politik lebih ditujukan untuk menyelamatkan citra di mata publik, bukan sebagai bentuk pertanggungjawaban politik.
“Parpol tidak mengalami kerugian berarti karena kursi di parlemen tetap aman, ini berbahaya. Masyarakat Indonesia hari ini semakin cerdas. Publik bisa menilai bahwa sikap partai seperti ini hanya kosmetik belaka,” ungkapnya.
Lebih jauh, Nanik mengatakan partai politik seharusnya memberi penjelasan yang transparan kepada publik terkait alasan penonaktifan anggotanya. Ia juga menekankan akuntabilitas dan keterbukaan sangat penting karena anggota dewan dipilih langsung oleh rakyat, bukan ditentukan ketua partai.
“Rakyat berhak tahu. Yang memilih Eko Patrio dan lainnya itu rakyat, bukan parpol. Jadi harus ada pertanggungjawaban kepada konstituen. Kalau tidak, rakyat hanya dijadikan alat untuk memilih, sementara setelahnya dianggap tidak mengerti apa-apa,” katanya. (H-4)