
Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) telah meneken Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman impor gandum sebanyak 1 juta metrik ton per tahun dari Amerika Serikat (AS) mulai 2026-2030.
Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies mengatakan penandatanganan MoU dengan nilai USD 250 juta atau Rp 4,05 triliun (dengan kurs Rp 16.216 per dolar AS) ini telah dilakukan pada Senin, 7 Juli 2025.
“Kita telah melakukan MOU dengan antara Aptindo dan USWheat untuk kita setuju untuk menyerap gandumnya dia 1 juta (metrik ton) per tahun dari 2026 sampai 2030 senilai USD 250 juta per tahun,” kata Ratna kepada kumparan, Sabtu (12/7).
Dia mengatakan dari tahun ke tahun, AS merupakan salah satu penyuplai gandum langganan Aptindo, sehingga kerja sama importasi gandum yang diteken kali ini tidak mengurangi porsi impor gandum dari negara mana pun.
Hanya saja dalam satu hingga dua tahun terakhir, produksi gandum AS mengalami penurunan sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan industri Indonesia.
“Kita memang perlu gandum Amerika. Kita banyak mengambil dari AS, tapi terakhir kan mereka kan gagal panen, sehingga berkurang supply-nya,” tutur Ratna.
Selain AS, Ratna menyebut negara yang langganan impor gandum ke Indonesia adalah Australia, Kanada, Brasil, Argentina, Rusia, Ukraina dan lain-lain.

Di sisi lain Ratna juga mengakui, kerja sama ini bisa menjadi salah satu upaya membantu pemerintah agar AS bisa mempertimbangkan kembali tarif impor untuk Indonesia.
Ratna melihat upaya yang dilakukan oleh Aptindo sebagai cara pengusaha membantu menyelamatkan perekonomian Indonesia. Sehingga nantinya pengusaha bisa menjalankan kepentingan berusaha dengan baik.
“Kita dalam rangka mendukung pemerintah. Karena kan kalau nasional ekonomi kita lemah kan kita juga nggak bisa jualan kan Kita mendukung pemerintah ya untuk kepentingan kita juga kan,” imbuhnya.
Ratna menyebut hingga kini belum ada pembicaraan dari pemerintah mengenai insentif bagi pengusaha yang meneken kerja sama dengan AS. “Enggak ada (janji insentif),” katanya.
Meski demikian Ratna memastikan, kerja sama importasi gandum dari AS ini akan terus berjalan meskipun nantinya pemerintah AS tidak menurunkan tarif impor 32 persen kepada Indonesia.
Menurut dia kerja sama ini bersifat bisnis dengan bisnis atau B2B dan mengikuti harga gandum di pasar internasional. Sehingga tarif impor yang diteken AS tidak akan mempengaruhi kerja sama ini.
“Ya kalau kan kita juga harga kompetitif, harga internasional, jadi kita (kerja sama) jalan juga tetap enggak apa-apa. Kita tidak ekspor ke Amerika, kita impor, kalau ternyata Amerika masih mengenakan bea masuk (32 persen dan tambahan) itu mungkin (domain) pemerintah dan industri (yang impor ke AS),” jelasnya.