
Saya tidak tahu banyak tentang Nahdlatul Ulama (NU), saya juga tidak berani mengatakan diri saya seorang Nahdliyin. Saya hanya orang yang kebetulan lahir dan besar di lingkungan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai NU.
Sedari saya kecil, NU sangat lekat di ingatan saya, simbol-simbol NU menghiasi dinding rumah begitu pula kalender yang menampilkan foto tokoh-tokoh besar NU yang penuh keteduhan dan karismatik adalah pemandangan yang saya saksikan tiap tahunnya. Di meja ruang tamu, cukup sering saya melihat lipatan kertas undangan yang memuat logo NU. Di langgar tempat saya mengaji, simbol-simbol NU pun tak pernah luput dari pandangan mata saya. Setidaknya sekali dalam seminggu saya terbiasa mengantarkan ibu saya ke pengajian ibu-ibu muslimat.
Maka tak mengherankan jika pada akhirnya warna hijau khas NU itu menjadi salah satu warna yang cukup menyita perhatian saya.
Demikian hebatnya NU hingga saya sempat mengira NU adalah sebuah agama. Sampai pada akhirnya saya mulai mengerti bahwa NU merupakan organisasi islam yang begitu besar, memiliki kepengurusan dari tingkat paling bawah hingga pusat, dari Pengurus Anak Ranting hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Memori masa kecil yang terusik
Berita yang berseliweran hari-hari ini tentang NU rasanya cukup mengusik memori masa kecil saya.
Dalam ingatan saya, NU tidak sekadar sebuah organisasi, lebih dari itu NU merupakan cara berpikir, berperilaku, dan bertindak. Betapa sering saya mendengar nasihat dari orang tua dan guru yang didasarkan pada nilai-nilai dan pandangan NU. NU yang saya dengar di masa kecil saya rasanya cukup sederhana dan berfokus pada upaya untuk menuntun umat ke jalan yang sesuai dengan ajaran islam berlandaskan paham Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). NU memberikan tuntunan mulai dari manusia dilahirkan hingga mengantarkannya kembali ke haribaan sang pencipta. NU pula mengajarkan bagaimana manusia sebagai makhluk sosial dapat hidup rukun dan damai.
Maka tak berlebihan rasanya jika muncul frasa "NU way of life", sebuah frasa yang mencerminkan bahwa nilai-nilai dan tradisi NU menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari anggotanya.
NU masa kecil saya terasa begitu meneduhkan seteduh foto para pendirinya yang saya lihat di kalender.
Namun, betapa kaget saya bahwa wajah NU kini seringkali muncul di berbagai media namun tampak jauh dari kepentingan umat. Kedekatan NU dengan penguasa membuat saya gelisah. Kegelisahan itu semakin kuat tatkala PBNU menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang hingga yang terbaru PBNU juga ingin mengelola program pemerintah yakni Makan Bergizi Gratis (MBG).
Tambang dan Program Pemerintah
Apa yang salah jika organisasi islam mengurus tambang atau program pemerintah? Memangnya anggota NU tidak kompeten untuk mengurus itu semua?
Tentu tidak ada yang salah, begitupun tak ada yang meragukan bahwa NU memiliki intelektual yang sangat mumpuni. Namun, jika pertanyaannya digeser sedikit, pantaskah? Maka rasanya kita perlu merenung sejenak. Kita tahu bahwa tidak semua hal diperuntukkan untuk semua, dan semua hal memiliki peruntukannya masing-masing. Sebuah analogi yang sangat sederhana, seorang laki-laki memiliki bentuk fisik yang memungkinkan untuk memakai pakaian perempuan, tidak salah, dan boleh saja. Akan tetapi tentu kurang pantas atau tak elok dipandang.
NU merupakan organisasi islam, bukankah ada yang lebih pantas untuk mengerjakan tambang serta program-program pemerintah.
Lantas, jika melalui tambang itu memberikan maslahat bagi umat, bagaimana? Tentu ini sangat mudah dibantah. Manfaat apa yang dimaksud, siapa yang mendapatkan manfaat dari tambang tersebut? Rakyat? Atau justru rakyat yang menjadi korban?
Salah satu pimpinan PBNU Ulil Abshar Abdalla dalam suatu dialog di stasiun televisi memberikan pernyataan yang seolah mengabaikan fakta bahwa selama ini aktivitas pertambangan menghasilkan banyak dampak negatif bagi lingkungan, sosial dan ekonomi. Menyebut kelompok yang menolak tambang sebagai wahabi lingkungan saya kira cukup melukai hati banyak orang, terutama mereka yang selama ini berjuang untuk menciptakan ruang hidup yang lebih baik serta rakyat yang merasakan langsung kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tambang.
Banyak temuan menunjukkan bahwa tambang justru membuat kualitas hidup rakyat di sekitarnya semakin buruk alih-alih memberikan manfaat.
Kita bisa lihat tambang emas yang sudah puluhan tahun dikeruk dari tanah Papua. Lalu adakah saudara-saudara kita di Papua yang menikmati itu semua? Begitupun dengan tambang yang ada di pulau-pulau lain di negeri ini, tak ada yang diperoleh masyarakat setempat selain kerusakan.
Kalaupun harus ada pihak yang dipaksakan memperoleh manfaat dari kegiatan pertambangan pasti hanya segelintir orang dan tentu tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang dihasilkan.
Lantas, bagaimana mungkin NU yang begitu besar, memiliki jutaan anggota yang tersebar di pelosok negeri namun hanya mewakili kepentingan segelintir orang atau bahkan oligarki.
Belakangan saya mengerti bahwa NU dan PBNU entitas yang berbeda. Itu sebabnya sikap PBNU tentu tidak mewakili keseluruhan warga NU.
Dan akhirnya, nasihat KH. Abdul Wahab Hasbullah "hidupilah NU, jangan cari hidup di NU" bukan sebagai pengingat semata, melainkan benar adanya.