Oleh : Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Momen Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi pengingat penting bagi umat Islam. Peringatan kelahiran Rasulullah adalah momentum spiritual untuk merenungkan keteladanan beliau. Nabi SAW datang bukan hanya membawa risalah bagi kaum Muslimin, tetapi juga rahmat dan kasih bagi seluruh umat manusia.
Sejarah mengajarkan kepada kita bagaimana Rasulullah membangun masyarakat yang beragam dengan hati yang lapang. Ketika rombongan Nasrani datang ke Madinah, Nabi mempersilakan mereka beribadah di Masjid Nabawi. Itu adalah penegasan bahwa rumah ibadah adalah ruang damai bagi siapa saja. Rasulullah juga menyusun Piagam Madinah, perjanjian hidup bersama antara Muslim, Yahudi, dan berbagai suku.
Selama kurang lebih 10 tahun memimpin Madinah, beliau mengurus dan melindungi masyarakat Yahudi yang masih hidup di sana. Rasulullah tampil bukan hanya sebagai pemimpin umat Islam, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan yang menjamin hak semua warga. Beliau adalah pemimpin politik dan pemerintahan yang mampu mengayomi semua perbedaan, bahkan di tengah persoalan umat yang kompleks. Inilah ciri penting dari kepemimpinan Nabi yang patut kita teladani hari ini.
Sabda beliau sangat jelas, “Barangsiapa menyakiti seorang non-Muslim yang dilindungi, maka ia telah menyakitiku.” Pesan ini sederhana tetapi tegas. Spiritualitas sejati tidak berhenti pada mencintai sesama agama, melainkan sampai pada keberanian membela martabat seluruh umat manusia.
Dalam pandangan inilah, moderasi beragama bukan soal tawar-menawar akidah atau mengatur ibadah ritual, karena dalam hal ibadah mahdhah semua sudah jelas diatur oleh Al-Qur’an dan Hadis.
Moderasi beragama adalah soal tata kelola kehidupan bersama, soal kesepahaman untuk menjadikan keberagaman sebagai keindahan. Ia menuntut kita terbuka, inklusif, dialogis, sekaligus menolak segala bentuk ekstremisme baik yang kaku maupun yang berlebihan. Rasulullah sendiri menunjukkan teladan itu di Madinah, di mana keberagaman dirawat dalam bingkai kesepakatan sosial yang adil dan saling menghormati.
Namun kita juga harus waspada. Ketika moderasi beragama disalahpahami, orang bisa saling mengkafirkan, saling menuding, bahkan memecah belah umat. Itu pernah terjadi, dan sejarah pahit itu jangan sampai terulang.
Moderasi harus dipahami sebagai cara merawat kebersamaan, bukan untuk melemahkan keyakinan atau mencurigai sesama. Karena itu, penting bagi kita semua untuk beragama secara proporsional. Setiap orang harus memahami ilmunya, mengerti keyakinannya, sehingga tidak mudah menyalahkan, menghujat, apalagi mencaci maki orang lain dalam beragama dan bertuhan.
Maulid Nabi SAW harus mengajarkan kita untuk mengambil semua teladan Rasulullah di tengah kehidupan umat yang heterogen. Tidak boleh ada yang terluka dan tersakiti. Begitulah Islam mengajarkan kehidupan yang hakiki.
Kehendak Tuhan memang menjadikan kita berbeda. Namun, karena cinta dan kasih sayang-Nya, kita justru dipersatukan dalam rahmat-Nya. Setiap manusia diciptakan dengan hati yang bahan bakunya adalah cinta dan kasih sayang. Karena itulah kita bisa saling memahami dan saling menghormati.
Saya lahir dan tumbuh di Papua. Sejak kecil, saya merasakan bagaimana keberagaman agama dan budaya bukanlah sekat, melainkan jembatan. Kami saling membantu saat duka, dan bergembira bersama dalam suka.
Dari Papua saya belajar bahwa perbedaan adalah rahmat. Kemudian, saya menimba ilmu di Makassar, kota pusat keilmuan Islam di timur Indonesia. Dari para guru saya, saya belajar bahwa ilmu agama sejati tidak membuat kita kaku, tetapi santai dan meneduhkan. Islam hadir untuk memberi rasa tenteram.
Sepanjang perjalanan hidup, saya bersyukur bisa dekat dengan banyak pemuka agama lintas iman, pendeta, pastor, biksu, tokoh adat. Dari mereka saya belajar bahwa persaudaraan sejati hadir dalam tindakan nyata, saling melindungi dan saling menghormati. Inilah makna Islam rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam.
Namun, harus kita akui, PR kita masih banyak. Masih ada diskriminasi terhadap rumah ibadah, ujaran kebencian yang dibiarkan, tokoh agama yang memilih menghasut daripada menyejukkan dan lain-lain. Semua ini tidak bisa dibiarkan!
Membela sesama umat itu wajar. Tetapi keberanian membela martabat mereka yang berbeda keyakinan, itulah spiritualitas tertinggi. Jika pemuka agama diam ketika umat lain dihina atau diperlakukan tidak adil, maka ia gagal meneladani Nabi Muhammad SAW. Islamkah mereka?
Karena itu, saya mengajak para pemuka agama, para tokoh umat, dan kita semua untuk berani meneladani Nabi secara utuh. Hadirkan kasih. Lindungi tetangga yang berbeda keyakinan. Perjuangkan keadilan di lapangan!
Di masa Presiden Jokowi, kita sudah melihat lahirnya Perpres tentang Penguatan Moderasi Beragama. Itu langkah penting. Harapan saya, di era Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, moderasi beragama bisa lebih maju.
Saya bahkan melihat perlunya membentuk Badan Moderasi Beragama Indonesia, sebuah lembaga khusus yang akan menjaga harmoni ini secara sistematis. Indonesia adalah rumah bagi beragam agama, dan kita wajib menjaganya dengan kesungguhan.
Maulid Nabi SAW mengingatkan kita kembali pada teladan agung Rasulullah. Beliau membangun kasih. Jika teladan itu benar-benar kita warisi, maka Indonesia akan semakin kokoh sebagai bangsa yang damai dan teduh. Dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Rote sampai Pulau Miangas. Semangat moderasi harus menjadi nafas bangsa.
Karena seperti sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.”
Selamat memeringati Maulid Nabi Muhammad SAW. Mari kita warisi kasih dan rahmat beliau, menjaga negeri ini sebagai tanah penuh persaudaraan dan kedamaian bagi semua umat.
*Ketua Umum Pengurus Pusat Badan Koordinasi Muballigh Se-Indonesia (PP. BAKOMUBIN)
Alumni Fakultas Dakwah IAIN (UIN) Alauddin Makassar Sulawesi Selatan.