
Harga bahan pokok naik, tagihan terus berjalan, tapi rasanya tetap pengin checkout lipstik warna baru? Kamu nggak sendirian, Ladies. Banyak perempuan di seluruh dunia mengalami hal yang sama. Di tengah tekanan ekonomi dan ketidakpastian finansial, justru pembelian lipstik menunjukkan tren naik. Fenomena ini dikenal dengan nama lipstick effect.
Lipstick effect pertama kali dikemukakan oleh profesor ekonomi dan sosiologi, Juliet Schor, dalam bukunya The Overspent American yang terbit tahun 1998. Ia menemukan bahwa saat kondisi keuangan sedang sulit, perempuan cenderung tetap membeli lipstik dari merek mewah dan justru mengabaikan produk kecantikan lain yang lebih mahal, seperti pembersih wajah atau riasan mata.
Fenomena ini masih terus terjadi hingga sekarang. Di Inggris, data dari Organisasi riset pasar Circana menunjukkan bahwa penjualan produk bibir naik sebesar 16% di enam bulan pertama 2025. Artinya, meskipun banyak orang sedang mengencangkan ikat pinggang, mereka tetap mencari celah untuk memberi hadiah kecil bagi diri sendiri dan lipstik jadi salah satu pilihan utamanya.

Menurut Larissa Jensen, Wakil Presiden NPD, perusahaan pemantau pasar global dan penasihat industri kecantikan, “Lipstik itu punya kekuatan untuk mengubah penampilan. Cara pakainya mudah dan cepat, berbeda dengan riasan mata yang butuh waktu lebih lama. Lipstik sangat powerful karena bisa langsung mengubah wajah secara instan. Cukup satu pulasan di bibir, wajah langsung terlihat lebih hidup.”
Hal ini masuk akal, sih. Sebab saat semuanya terasa berat, secuil warna di bibir bisa memberi rasa berbeda. Rasanya seperti punya kendali kecil atas hidup yang lagi berantakan. Mau lagi stres karena kerjaan, keuangan, atau urusan hati, pakai lipstik sering jadi bentuk ‘angkat mood’ yang instan.
Daripada beli baju baru yang harganya bisa ratusan ribu, atau tas yang perlu nabung dulu berbulan-bulan, beli satu lipstik Rp 50 ribuan bisa langsung kasih efek “seneng” yang cukup bikin hari terasa lebih baik. Simpel, tapi nyata.

Di media sosial, kita pun bisa melihat banyak orang berbagi soal pembelian lipstik mereka, dari warna nude yang lembut sampai bold yang bikin percaya diri. Bahkan review dan swatch lipstik bisa jadi semacam “healing virtual” buat yang cuma bisa scroll tapi belum bisa checkout.
Tapi di sisi lain, lipstick effect juga bisa menjebak kita dalam belanja impulsif. Apalagi sekarang, semuanya tinggal klik. Satu menit kita cuma scroll, menit berikutnya udah ada notifikasi "pembayaran berhasil". Rasanya belanja lipstik itu kayak bentuk perlawanan kecil terhadap stres hidup, padahal bisa aja bikin kantong makin kering kalau nggak dikontrol.
Jadi penting banget untuk tetap sadar “apakah kita beli karena memang pengin mencoba warna baru, atau cuma cari pelarian?” Self-reward itu penting, tapi tetap harus disesuaikan sama kondisi.
Lipstick effect pada akhirnya bukan cuma soal kosmetik. Ia menggambarkan bagaimana kita, sebagai manusia, mencoba bertahan dan merasa ‘cukup’ di tengah kekurangan. Sebab terkadang, hal kecil bisa punya dampak besar, seperti lipstik.