
GUBERNUR Jawa Barat Dedi Mulyadi menilai pelayanan kesehatan di Tanah Air sudah terlalu berorientasi materi, sehingga berpengaruh terhadap kualitas pelayanan. dunia kesehatan sudah menjadi industri, sehingga segala sesuatunya dihitung berdasarkan kepentingan bisnis.
Hal ini disampaikan Dedi saat menjadi pembicara dalam seminar nasional bertemakan Pencegahan Perundungan, Gratifikasi, Korupsi, dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, di kampus Universitas Padjadjaran Bandung, Jumat (22/8).
"Ini fakta. Kita masuk ke materialisme dunia kesehatan. Dunia kesehatan adalah bisnis," katanya.
Dia menjelaskan, kondisi ini sangat memperihatinkan karena berdampak terhadap kualitas pelayanan kepada masyarakat. "Kalau materialisme masuk ke pikiran dunia kesehatan, pelayanan ke masyarakat akan jauh panggang dari api."
Sebagai contoh, menurutnya, sudah terjadi pergeseran nilai dalam dunia kedokteran karena tingginya biaya pendidikan dalam profesi tersebut. Akibatnya, saat ini semakin langka dokter yang memiliki pengabdian yang baik terhadap masyarakat dan negara
"Terjadi pergeseran nilai dalam dunia kedokteran. Kalau zaman dulu, semua dokter serba pengabdian. Kalau zaman sekarang, dokter serba perhitungan," katanya.
Dokter juga korban
Dedi memahami materialisme dalam dunia kedokteran bukan terjadi begitu saja. Para dokter pun terpaksa seperti itu akibat tingginya biaya pendidikan yang harus ditempuh.
"Dokter juga menjadi korban. Maka dari itu, harus dilakukan perbaikan dalam sistem rekruitmen dokter mulai dari seleksi awal di perkuliahan hingga proses pendidikan dokter spesialis," tandasnya.
Pertama, dia berharap seleksi akademis bisa dilakukan lebih baik lagi dalam menjaring mahasiswa kedokteran.
"Dulu, calon dokter itu yang biologinya hebat, fisikanya hebat, kimianya, matematikanya hebat. Walaupun berasal dari keluarga tidak mampu, bisa masuk universitas terbaik dan menempuh pendidikan kedokteran sampai selesai," katanya.
Hal berbeda terjadi saat ini akibat tingginya biaya pendidikan kedokteran.
"Sekarang pintar saja enggak cukup kalau orangtuanya enggak punya kemampuan. Sekarang bodoh sedikit boleh masuk kedokteran asal punya uang. Sekarang banyak anak teman-teman saya yang masuk kedokteran, 'ceuk urang teh asa rada oon budak teh' (menurut saya agak bodoh anak ini)," katanya.
Kedua, menurutnya, seleksi ketat pun harus dilakukan dalam pendidikan dokter spesialis. Yang berhak menempuh pendidikan spesialis tersebut haruslah dokter yang sudah terbukti memiliki integritas dan pengabdian yang baik.
"Harusnya, yang bisa mengikuti pendidikan spesialis itu dokter yang sudah terbukti pengabdiannya. Yang sudah lama mau ditempatkan di daerah terpencil, di desa-desa, di puskesmas," katanya.
Untuk itu, pemerintah harus bisa mengintervensi agar tingginya biaya pendidikan tidak memberatkan dokter. Salah satunya dengan menyiapkan beasiswa bagi calon-calon dokter dan dokter spesialis.
Dedi memastikan Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan menyiapkan beasiswa bagi dokter yang akan mengikuti pendidikan gratis.
"Di APBD 2026 saya akan mengkuliahkan gratis dokter-dokter terbaik di Jawa Barat. Ini yang harus dilakukan. Kalau tidak, kita tidak akan melahirkan dokter-dokter pengabdi, dokter-dokter ikhlas," tegasnya.