PRESIDEN Prabowo Subianto menganugerahkan Tanda Kehormatan Republik Indonesia kepada 141 nama di Istana Negara, Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025. Mereka berasal dari sejumlah menteri Kabinet Merah Putih, mantan tentara, hingga peneliti.
Tanda kehormatan yang diberikan berbeda-beda, yaitu Tanda Bintang Republik Indonesia Utama, Bintang Mahaputera Adipurna, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, Bintang Kemanusiaan, Bintang Budaya Parama Dharma, dan Bintang Sakti.
“Saya ingin menyampaikan atas nama negara dan bangsa, sekali lagi, terima kasih atas jasa-jasa pengabdian Saudara-saudara sekalian dan mereka-mereka yang orang tuanya tidak hadir, ahli waris juga, atas nama negara dan bangsa terima kasih. Semoga jasa-jasa Saudara-saudara terus menjadi warisan bagi generasi penerus,” ucap Prabowo.
Menurut Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, Presiden memberikan gelar itu kepada putra-putri yang dianggap terbaik di bidangnya. “Prabowo betul-betul ingin memberikan penghargaan kepada siapa saja putra-putri terbaik bangsa yang berprestasi,” kata dia di Istana Negara, Senin.
Namun sejumlah pihak mengkritik keputusan Presiden Prabowo memberikan tanda kehormatan kepada beberapa tokoh.
Koalisi Sipil Kecam Pemberian Tanda Kehormatan bagi Terduga Pelanggar HAM
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengecam pemberian tanda kehormatan kepada sejumlah jenderal purnawirawan dan tokoh sipil yang diduga memiliki rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Koalisi menyoroti empat nama penerima tanda kehormatan yakni Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto, Jenderal TNI Purnawirawan A.M. Hendropriyono, Mayor Jenderal TNI Purnawirawan Zacky Anwar Makarim, serta mantan Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osorio Soares. Koalisi menilai keempat tokoh itu memiliki keterkaitan kuat dengan peristiwa pelanggaran berat HAM, mulai dari tragedi 1998, Talangsari 1989, hingga kekerasan pascareferendum Timor Timur pada 1999.
“Pemberian penghargaan ini tidak hanya mencederai rasa keadilan korban, tetapi juga pengingkaran negara terhadap kewajiban menegakan HAM,” kata Jane Rosalina Rumpia, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, yang menjadi bagian dari koalisi itu melalui surat terbuka pada Rabu, 27 Agustus 2025.
Koalisi menyatakan nama Wiranto pernah disebut dalam hasil penyelidikan Komnas HAM dan Unit Kejahatan Serius PBB sehubungan dengan dugaan keterlibatan kejahatan kemanusiaan di Timor Timur. Hendropriyono dikaitkan dengan kasus Talangsari Lampung dan dugaan konspirasi pembunuhan aktivis HAM Munir. Adapun Zacky Makarim dan Abilio Soares juga disebut dalam berbagai dokumen resmi sehubungan dengan dugaan kejahatan pascareferendum 1999.
Koalisi menyatakan nama-nama tersebut bukan figur kontroversial semata, melainkan terduga pelaku pelanggaran berat HAM. “Memberi mereka penghargaan sama saja dengan mengukuhkan impunitas,” ujar Jane.
KontraS Kritik Pemberian Tanda Kehormatan untuk Hendropriyono
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KonstraS) Dimas Bagus Arya Saputra mengkritik pemberian tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama kepada Abdullah Mahmud Hendropriyono. AM Hendropriyono diduga terlibat dalam beberapa kasus pelanggaran HAM.
Menurut Dimas, Prabowo seharusnya tidak memberikan tanda kehormatan kepada mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu. “Negara seharusnya betul-betul menerapkan prinsip zero tolerance kepada setiap orang yang pernah atau diduga kuat ikut terlibat dalam tindakan yang melawan hukum dan kemanusiaan,” kata dia saat dihubungi pada Selasa, 26 Agustus 2025.
Dia mengatakan pemerintah seharusnya mempertimbangkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pasal itu menegaskan asas kemanusiaan, keadilan dan kehati-hatian, serta keterbukaan untuk memilih penerima tanda kehormatan.
Dimas mengatakan Hendropriyono diduga terlibat dalam peristiwa pelanggaran berat HAM Talangsari di Lampung pada 1989. Keterlibatan Hendropriyono dalam peristiwa Talangsari tertuang dalam dokumen penyelidikan Komnas HAM. Hendropriyono kala itu menjabat sebagai Komandan Korem (Danrem) 043/Garuda Hitam Lampung.
Dimas mengatakan belum ada putusan pengadilan terhadap Hendropriyono. Meski begitu, menurut dia, tidak menghapus fakta dan peristiwa keterlibatan Hendropriyono. “Kewajiban negara untuk tetap mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara menyeluruh dan tuntas,” ujar dia.
Menurut dia, Prabowo seharusnya tidak memberikan gelar kepada Hendropriyono. Tindakan Prabowo dinilai langkah permisif dan afirmatif terhadap pelanggar HAM. “Ini juga tindakan abai negara terhadap penegakan HAM dan pemenuhan rasa keadilan,” ujar dia.
Peristiwa Talangsari terjadi pada 7 Februari 1989 yang melibatkan aparat keamanan dengan kelompok Warsidi. Kelompok Warsidi ini diduga adalah kelompok Islamis yang langkahnya dinilai bertentangan dengan pemerintahan Orde Baru kala itu. Komandan Koramil Way Jepara saat itu, Kapten Soetiman, tewas dalam bentrokan dengan warga setempat yang diduga akibat kesalahpahaman.
Tewasnya prajurit itu membuat Danrem 043 Garuda Hitam kala itu, Kolonel AM Hendropriyono, mengambil tindakan. Dia memimpin langsung penyerbuan ke pondok pengajian di Desa Talangsari. Sedikitnya 246 korban meninggal, puluhan korban dipenjarakan baik melalui proses hukum maupun tanpa proses hukum.
Di Istana Negara, Prabowo menyematkan tanda kehormatan kepada Hendropriyono, yang dianggap berjasa sangat luar biasa dalam bidang pertahanan dan intelijen melalui pengabdiannya sebagai perwira tinggi TNI dan Kepala BIN yang memimpin berbagai operasi strategis serta pengembangan sistem keamanan.
Tempo sudah meminta konfirmasi mengenai hal ini kepada Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Namun, dia belum membalas.
Setara Institute: Pemberian Bintang Mahaputera 2025 Bertentangan dengan Asas Undang-Undang
Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi menyatakan pemberian tanda jasa Bintang Mahaputera kepada 122 orang oleh Presiden Prabowo harus ditolak karena bertentangan dengan asas yang ada dalam undang-undang.
Dia mengatakan pemberian tanda jasa itu kental dengan subjektivitas Prabowo sebagai kepala pemerintahan. Menurut Hendardi, penganugerahan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009.
Pasal 2 beleid itu menegaskan sejumlah asas yang melimitasi secara ketat pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, antara lain asas kemanusiaan, asas keteladanan, asas kehati-hatian, asas keobjektifan, dan keterbukaan.
“Penganugerahan Bintang Mahaputera pada 2025 harus ditolak karena beberapa alasan yang secara substantif bertentangan dengan asas-asas dalam UU tersebut,” kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya pada Kamis, 28 Agustus 2025.
Dia kemudian membeberkan sejumlah pelanggaran asas tersebut. Pertama, beberapa figur secara objektif terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, terutama pelanggaran HAM 1998 dan pelanggaran HAM seputar Referendum Timor Leste, seperti Wiranto. Kedua, Presiden juga memberikan Bintang Mahaputera kepada eks narapidana korupsi, utamanya Burhanuddin Abdullah.
“Publik mencatat dengan baik bahwa Burhanuddin merupakan salah satu ‘arsitek’ ekonomi Pemerintahan Prabowo,” ujar Hendardi. “Namun statusnya sebagai eks koruptor harusnya menjadikan yang bersangkutan tidak layak menyandang Tanda Kehormatan sangat tinggi sekelas Bintang Mahaputera.”
Ketiga, Presiden secara subjektif memberikan Bintang Kehormatan kepada para pembantunya di Kabinet Merah Putih, mulai dari Teddy Indra Wijaya hingga Bahlil Lahadalia. Padahal, publik secara massif mempertanyakan jasa para menteri yang baru menjabat dengan penunjukan politik.
Hendardi menilai integritas para menteri yang mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera tersebut juga tidak terbukti teruji. Bahkan beberapa nama menteri penerima Bintang Mahaputera itu disebut-sebut dalam kasus korupsi.
Keempat, penolakan publik yang luas mulai dari akademisi dan intelektual sampai para aktivis masyarakat sipil. Mereka juga mempertanyakan integritas dan jasa besar para penerima Bintang Mahaputera itu. “Mereka menilai proses profiling calon penerima Bintang Mahaputera tidak terbuka dan tidak melibatkan publik,” kata Hendardi.
Selain itu, proses penganugerahan Bintang Mahaputera yang serampangan menurunkan kredibilitas dan nilai dari penghargaan negara. Hendardi mengatakan ini akan menjadi preseden bagi Presiden Prabowo dan pemerintahan dalam jangka panjang.
Hendrik Yaputra, Dinda Shabrina, dan Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Ragam Reaksi atas Pelajar Ikut Demo di DPR<...