
Hukuman penjara untuk mantan Ketua DPR, Setya Novianto (Setnov) terkait kasus korupsi e-KTP dipangkas oleh Mahkamah Agung dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun. Keputusan ini diambil usai MA mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan pihak Setnov.
KPK menghormati keputusan MA itu. Namun, KPK mengingatkan pentingnya putusan majelis hakim yang memberikan efek jera terhadap para pelaku korupsi.
“Dalam konteks penegakan hukum pemberantasan korupsi, kita juga penting untuk memperhatikan bagaimana putusan-putusan tersebut juga bisa memberikan efek jera kepada para pelaku, termasuk bagaimana putusan-putusan tersebut juga bisa mengoptimalkan pemulihan keuangan negara,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Kamis (3/7).
Menurut Budi, korupsi memiliki dampak yang sangat besar untuk negara. Ia berpendapat, keputusan hakim harusnya bisa menjadi contoh untuk kasus-kasus lainnya.
“Terlebih korupsi ini memiliki dampak yang sangat besar, dan dengan putusan itu juga nantinya bisa menjadi preseden ya, termasuk ini juga bisa menjadi langkah-langkah pencegahan tentunya karena mengingatkan kepada masyarakat secara lebih luas agar tidak melakukan tindak pidana korupsi,” ujarnya.
“Karena dengan melakukan tindak pidana korupsi kemudian dapat dihukum dan bisa memberikan efek jera yang efektif kepada para pelaku,” tambahnya.
Putusan PK Setnov diketok pada 4 Juni 2025 lalu oleh Hakim Agung Surya Jaya sebagai Ketua Majelis PK, serta Hakim Agung Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono selaku anggota majelis.
"Kabul. Terbukti Pasal 3 juncto Pasal 18 UU PTPK juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 bulan," demikian petikan putusan perkara nomor 32 PK/Pid.Sus/2020, dilihat di situs resmi MA.
Tak hanya itu, MA juga mengurangi hukuman larangan Hak Politik Setnov dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun usai menjalani pidana pokok.
Dalam putusan itu, Setnov juga dihukum pidana denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti (UP) sebesar USD 7,3 juta. Uang pengganti itu dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkannya ke penyidik KPK.
"Sisa UP Rp 49.052.289.803 subsider 2 tahun penjara," bunyi putusan itu.
Belum diketahui apa pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan ini.
Setnov sebelumnya divonis 15 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama. Ia juga dihukum membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Ia dinilai menerima keuntungan sebesar USD 7,3 juta serta jam tangan Richard Mille RM011 seharga USD 135 ribu dari proyek yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
Setnov juga dihukum harus membayar uang pengganti sebesar yang diterimanya yakni USD 7,3 juta. Apabila uang pengganti itu tak dibayar, maka harta benda Setnov akan disita dan dilelang. Namun bila tidak mencukupi, maka akan diganti pidana penjara selama 2 tahun.
Pihaknya tak mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketok pada Selasa (24/4/2018) silam. Akan tetapi, setelah menjalani setahun hukuman, Setnov mengajukan PK. Kini, MA mengabulkan PK itu dan hukumannya pun dipotong menjadi 12,5 tahun penjara.
Kuasa Hukum Jelaskan Salah Satu Novum: Keterangan Agen FBI
Penasihat hukum Novanto, Maqdir Ismail, mengungkapkan bahwa salah satu novum atau bukti baru yang diajukan di permohonan Peninjauan Kembali (PK) kliennya di kasus korupsi e-KTP adalah keterangan agen FBI, Jonathan E. Holden.
Keterangan agen FBI tersebut terkait pemeriksaan terhadap Johannes Marliem, yang tak menyebutkan ada pengiriman uang terkait e-KTP.
"Adanya keterangan agen FBI di pengadilan di Amerika terhadap perkara yang melibatkan istri dari Johannes Marliem dengan beberapa krediturnya," kata Maqdir saat ditemui di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (3/7).
"Yang menerangkan bahwa tidak ada uang yang dikirim oleh Marliem dari Amerika kepada Pak Setya Novanto. Itu salah satu di antaranya yang kami pakai sebagai novum," ungkapnya.
Selain itu, Maqdir mengungkapkan bahwa novum lainnya yang juga diajukan yakni transaksi keuangan yang diterima Multicom Investment Pte Ltd, perusahaan milik Anang Sugiana Sudihardjo di Singapura, dengan Made Oka Masagung.
"Jadi transaksi yang mereka lakukan ini ada proses jual beli, yang jadi sehingga kalau lihat dari transaksi enggak ada kaitannya dengan Pak Novanto, tetapi ini dianggap terbukti," ucap dia.