
PEREMPUAN yang pernah mengalami penguntitan (stalking) berisiko jauh lebih tinggi terkena penyakit jantung dan stroke dalam jangka panjang.
Dipublikasikan dalam jurnal Circulation, studi diikuti lebih dari 66 ribu perempuan selama 20 tahun dan menemukan bahwa mereka yang melaporkan pernah diuntit oleh pasangan saat ini, mantan pasangan, atau orang lain memiliki risiko 41 persen lebih tinggi berisiko terkena penyakit kardiovaskular dibandingkan mereka yang tidak melaporkan pengalaman penguntitan.
Risiko tersebut bahkan lebih tinggi pada perempuan yang pernah memperoleh perintah perlindungan, dengan kemungkinan 70 persen lebih besar mengalami penyakit jantung atau stroke.
"Bagi banyak orang, penguntitan tidak tampak seperti pengalaman yang serius, karena sering kali tidak melibatkan kontak fisik. Namun, penguntitan memiliki konsekuensi psikologis yang mendalam yang dapat berdampak fisik,” kata penulis senior studi sekaligus profesor epidemiologi psikiatri di Universitas Harvard, Amerika Serikat, Karestan Koenen dikutip dari Enuro News pada Rabu (3/9).
Koenen menyebut temuan ini menegaskan bahwa bentuk kekerasan non kontak yang umum terhadap perempuan menimbulkan bahaya kesehatan. Bahkan dirinya menyamakan dampak kasus penguntitan dengan perlakukan kebiasaan merokok atau pola makan yang buruk.
Penguntitan memengaruhi sekitar satu dari tiga perempuan dan satu dari enam laki-laki sepanjang hidup mereka, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat. Di Uni Eropa, angkanya mencapai 18,5 persen, dengan tingkat yang bervariasi dari 8,5 persen di Lituania hingga 32,4 persen di Slovakia, menurut data Uni Eropa.
Penguntitan mencakup perilaku berulang yang tidak diinginkan, seperti mengikuti, memata-matai, kunjungan tanpa diundang, atau pelecehan daring. Namun, studi ini menyoroti bahwa penguntitan jarang dibahas dalam penelitian medis, meskipun dapat menyebabkan trauma psikologis yang mendalam serta berpotensi berdampak pada kesehatan fisik.
Studi tersebut menganalisis data dari survei jangka panjang terhadap perawat perempuan di Amerika Serikat, mengumpulkan informasi mengenai riwayat penguntitan mereka pada tahun 2001 dan mengikuti partisipan hingga 2021.
"Pada awal studi, tidak ada peserta yang menderita penyakit kardiovaskular. Hampir 12 persen melaporkan pernah diuntit, dan hampir 6 persen menyatakan pernah memperoleh perintah perlindungan," ujarnya.
Penyakit jantung dan stroke dilaporkan sendiri oleh peserta dan diverifikasi melalui catatan medis. Selama dua dekade berikutnya, sekitar 3 persen perempuan mengalami penyakit kardiovaskular, dengan risiko yang jauh lebih tinggi pada mereka yang pernah diuntit atau memperoleh perintah perlindungan.
Dukungan Layanan Kesehatan
Oleh karena itu para penulis studi melihat tekanan psikologis akibat penguntitan dapat mengganggu sistem saraf, merusak fungsi pembuluh darah, serta mengubah mekanisme biologis lain jalur potensial yang menghubungkan kekerasan dengan kerusakan kardiovaskular.
Namun, studi lanjutan masih dibutuhkan untuk lebih memahami kaitan tersebut. Perlu dicatat, sebagian besar partisipan dalam studi ini adalah perawat kulit putih non-Hispanik, sehingga temuan ini mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan pengalaman perempuan secara keseluruhan.
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa penguntitan dan kekerasan lebih banyak berdampak pada perempuan dari kelompok etnis minoritas serta komunitas berpenghasilan rendah.
Kendati memiliki keterbatasan, para penulis studi mengatakan bahwa temuan mereka menunjukkan perlunya tindakan lebih lanjut dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan.
“Dalam layanan kesehatan, kita perlu meningkatkan skrining untuk penguntitan dan bentuk kekerasan lainnya, serta menyediakan sumber daya bagi perempuan untuk melindungi diri,” ujar Koenen.
“Dan dalam skala yang lebih luas, pada tingkat kesehatan masyarakat, kita harus lebih baik dalam menangani serta mencegah akar penyebab kekerasan terhadap perempuan,” pungkasnya. (H-3)