
Persoalan validitas data dalam program bantuan sosial (bansos) dinilai masih bias terhadap masyarakat miskin di wilayah perkotaan. The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan hal ini memengaruhi kenaikan angka kemiskinan secara statistik, yang bisa juga belum tentu mencerminkan kondisi riil di lapangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase kemiskinan di kota naik dari 6,66 persen menjadi 6,73 persen per Maret 2025, sementara di desa turun dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen.
“Lagi-lagi persoalan integrasi data, validitas data untuk program bantuan sosial ini cukup bias (di) perkotaan, karena seringkali untuk masyarakat di wilayah perkotaan justru tidak tersentuh,” kata Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef, Abra P.G. Talattov, dalam diskusi INDEF yang dilaksanakan secara daring, Selasa (29/7).
Ia menjelaskan, banyak masyarakat miskin kota yang bekerja di sektor informal, sehingga kerap luput dari pendataan penerima bansos. Padahal, menurutnya kelompok ini merupakan salah satu yang paling rentan terhadap tekanan ekonomi.
“Itu juga menjadi alarm yang cukup serius yang harus diperhatikan pemerintah karena masyarakat miskin di perkotaan ini sangat sensitif juga terhadap isu-isu sosial dan politik. Ketika terjadi guncangan-guncangan sosial di perkotaan itu biasanya juga akan lebih mudah,” tambah Abra.

Faktor lain yang menyebabkan angka kemiskinan di kota naik dan sulit untuk ditangani, di antaranya harga kebutuhan pokok mahal dan pergeseran prioritas konsumsi masyarakat akibat melemahnya daya beli.
Tekanan ekonomi juga telah mendorong munculnya fenomena rombongan irit dan rombongan hemat anak-anak di kalangan warga kota.
“Itu lagi-lagi disebabkan oleh karena mereka lebih memprioritaskan kebutuhan dasar dibandingkan kebutuhan sekunder ataupun tersier. Jadi, memang ada shifting prioritas masyarakat di wilayah perkotaan,” sebut Abra.
Abra kembali mengingatkan tekanan besar yang dialami wilayah perkotaan disebabkan oleh kelompok miskin di kota yang tidak hanya menghadapi gejolak harga kebutuhan pokok.
“Itu karena kelompok miskin di wilayah perkotaan selain harus menghadapi gejolak harga kebutuhan pokok, juga seringkali tidak tersentuh program-program bantuan sosial oleh pemerintah,” tutur Abra.
Sebelumnya, data terbaru BPS mengungkapkan per Maret 2025, jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta orang, turun sekitar 200 ribu orang dibanding September 2024 yang mencapai 24,06 juta.

Akan tetapi, jika dilihat lebih dalam, tren di perkotaan justru menunjukkan sinyal bahaya. Angka kemiskinan di kota malah naik, meski jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibandingkan di pedesaan.
Ada sejumlah faktor yang membuat jumlah orang miskin di kota meningkat. Pertama, jumlah setengah penganggur naik signifikan. Per Februari 2025, jumlahnya bertambah 0,46 juta jiwa dibanding Agustus 2024. Mereka yang masuk kategori ini bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan tambahan.
Faktor kedua adalah kenaikan harga bahan pangan, seperti minyak goreng, cabai rawit, dan bawang putih, yang sangat memukul daya beli masyarakat miskin kota.
Faktor ketiga adalah soal pengangguran laki-laki. Meskipun secara umum tingkat pengangguran terbuka menurun dari 4,91 persen (Agustus 2024) menjadi 4,76 persen (Februari 2025), Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mencatat pengangguran laki-laki di kota justru meningkat.
Tingkat pengangguran laki-laki di kota naik dari 5,87 persen menjadi 6,06 persen dalam periode yang sama. BPS menilai ini ikut berpengaruh besar terhadap naiknya angka kemiskinan.